Page 19 - majalah_edukasi_2
P. 19
BINTANG
Oleh: Raisya Rahmawati
(Santri Pondok Pesantren Daarul Fikri, Cikarang Barat)
Namaku Bintang,” ujar gadis kecil itu dengan tatapan sendu ketika kutanya siapa namanya.
Aku tersenyum. Menggumamkan nama itu dan mengingatnya baik-baik. Meski baru
“beberapa menit yang lalu aku mengenalnya, entah mengapa rasa simpatiku terhadapnya begitu
membuatku penasaran untuk mengetahui tentang gadis kecil penjual koran bernama Bintang itu.
“Hai Bintang, aku Raina,” balasku sambil tersenyum lagi.
Hari itu masih ingat, awal mula perkenalanku dengan Bintang di pertengahan bulan Juli tatkala
siang yang teramat terik. Sosoknya berjalan kesana-kemari menyelusur diantara ramai kemacetan
dan dengan semangat menawarkan koran dagangannya. dari satu kendaraan ke kendaraan lain.
Aku yang saat itu sedang menunggu temanku yang akan menjemput tepat dari halte tempatku
berada menyaksikan pemandangan itu. Seorang gadis kecil yang usianya sekitar 10 tahunan,
bukankah seharusnya kini ia berada di sekolah dan asyik bergaul dengan teman-teman sebayanya?
Begitu kemacetan di salah satu jalan besar di ibukota itu mulai kembali lancar, Bintang dengan
cekatan segera menepi. Dibiarkannya asap kendaraan dan debu-debu jalanan yang berhamburan
menerpa wajahnya yang bercucuran keringat. Segera saja kulambaikan tangan ke arahnya. Dengan
kaki-kaki kecilnya Bintang berlarian riang menujuku. Setelah sampai kusodorkan sebotol minuman
dingin dari bapak tua pedagan kaki lima yang kebetulan mangkal tak jauh dari tempatku berada,
kuajak Bintang untuk duduk dan bercakap-cakap.
“Bintang, sejak kapan kamu berdagang koran?” tanyaku.
Gadis kecil itu terlihat mengingat-ingat, sesekali menggumam. “Hmm… sejak dulu.”
“Kamu tidak bersekolah?” tanyaku lagi.
Dengan wajah polosnya Bintang menggeleng. Bintang sama seperti ratusan atau bahkan ribuan
anak-anak yang harus mengorbankan sekolahnya demi menyambung kehidupan sehari-hari. Di
Indonesia memang bukan pemandangan yang tidak biasa, mungkin orang-orang seperti Bintang
kuyakin jumlahnya sangat banyak. Tapi tetap saja rasanya hatiku tidak tega membiarkan anak-anak
seusia Bintang harus menerima kerasnya hidup. Apalagi ternyata Bintang hanya tinggal bersama
neneknya yang seorang pemulung dan tinggal di perkampungan kumuh yang ada di Jakarta.
“Kak Raina memang mau kemana?” tanya Bintang. Ia kemudian duduk di sebelahku dan
meneguk minuman yang kuberikan tadi.
“Kakak sedang menunggu teman kakak, kita mau ke kampus. Kamu nanti harus kuliah juga
ya.”
“Pasti, kak. Bintang ingin menjadi dokter supaya bisa obati nenek. Nenek suka sakit, jadi
Bintang ingin menjadi dokter saja jadi nenek tidak usah bayar pengobatan.”
Aku mengangguk. Percakapan itu tak berlangsung lama karena teman yang kutungggu
kemudian datang. Aku pamit kepada Bintang dan berjanji kepadanya akan bertemu lagi nanti
untuk melanjutkan obrolan kami. Sebelum masuk ke mobil, kulambaikan tanganku kepada
Bintang.
“Bintang…” gumamku ketika melihatnya melambaikan tangan ke arahku hingga mobil yang
kutumpangi menghilang dari pandangannya.
***
19