Page 23 - majalah_edukasi_2
P. 23

yang Bapak pimpin! Untuk biaya tidak usah dipikirkan, mereka tidak akan meminta bayaran
          seperti masyarakat di sini.”
            Surti duduk bersimpuh di depan makam ibunya. Memanjatkan doa panjang untuk perempuan
          yang telah melahirkannya. Perempuan berhati lembut, tegas, dan penyayang yang telah mengisi

          hari-harinya. Menjadikan pribadi yang kuat dan tak mudah putus asa.
            Mbok yang selalu menasihati dengan kebaikan. Nasihat yang selalu diingat, hingga kini baru
          terungkap setelah kepergiannya. Surti menyaksikan sendiri bagaimana orang-orang memperlakukan
          jenazah. Cerita yang selama ini hanya ia dengar dari mulut ibunya setiap kali pulang takziyah. Di
          sela-sela cerita itulah, ibu selalu berpesan. Pesan yang selalu diulang-ulang. Kamu harus ubah
          kebiasaan warga di sini, terutama soal kematian. Amalan tentang fardhu kifayah harus benar-benar
          diluruskan. Mbok sudah coba meluruskan, tetapi selalu diremehkan. Pendapat Mbok dianggap
          melanggar adat di sini. Semua yang dilakukan masyarakat di sini wajar saja. Kata-kata itu yang
          selalu dilontarkan. Tapi, pernahkah mereka berpikir jika selimut duka itu menimpa orang miskin

          seperti kita ini. Bukankah beban hidup seorang muslim menjadi bagian dari muslim lainnya?
            “Surti, ayo kita pulang, sebentar lagi zuhur”. Ajakan  Yati, membuyarkan semua kenangan
          bersama Mbok. Surti mengangguk dan perlahan berdiri. Selangkah demi selangkah menjauhi
          makam Mbok. Irama langkah kaki tak mengalun. Seakan takut menambah duka di wajah Surti. Tak
          ada suara di antara mereka. Hanya desiran angin dan tatapan penuh harap  akan suatu perubahan.
          Meskipun kesulitan terpampang di depan mata, tak akan surut kaki melangkah. Untuk sebuah
          kebenaran dan kemaslahatan umat. Hingga pada akhirnya mendung tak lagi menyisakkan duka.



















                                              RASA TAK MENENTU
                          Oleh: Deviyah Guru Bahasa Indonesia SMPS Cendikia Dewantara



                ertengahan bulan Oktober tepatnya tanggal 19 Oktober 2013, hari Sabtu adalah momen
                bersejarah yang tak akan aku lupakan sepanjang hidupku. Rasa bahagia memecah di
         Ptelinggaku, janji suci (Akad nikah) terucap lantang di rumah Allah (Masjid). Perasaanku waktu
          itu tak menentu. Dibilang bahagia ya sangat bahagia, dibilang sedih ya sangat sedih. Perasaanku
          terasa kosong dan hambar. Bagaimana tidak ibu dari suamiku tidak dapat menyaksikan di hari
          pernikahanku, hanya doa restu yang terucap dari negeri orang yaitu Arab Saudi. Alhamdulillah
          masih disaksikan bapak mertua, nenek suami pengganti ibu, serta kedua orang tuaku.
            Air mata tumpah tak terbendung ketika bibir terucap meminta doa restu di atas tangan bapak.
          Begitupun bapak tak kuasa meneteskan air mata. Suasana berubah menjadi tanggis haru bahagia.
          Aku memeluk ibu dan nenek dengan erat. Selamat ya nak, semoga kalian berdua menjadi keluarga
          yang sakinah mawadah warohmah(ucap doa dari kedua bibir wanita yang aku sayangi). Amin…

          Sekarang aku harus membagi baktiku kepada suamiku. Ikrar suci telah terlaksana dengan hikmah.
          Rasa sesak di dadapun terasa lega.
            23 Oktober 2013 hari Selasa, resepsi pernikahanku berlangsung. Aku dan suami bagaikan ratu dan

                                                                                                                    23
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28