Page 18 - majalah_edukasi_1
P. 18
membahagiakan adik-adiknya terwujud. Satu persatu kehidupan yang layak menjadi sebuah impian yang
adiknya dapat menikmati indahnya dunia sekolah menjadi nyata. Meski untuk mewujudkan semua itu,
dan memeroleh pendidikan yang seharusnya. Hara- sang kakak berkorbaan berjalan dalam gelapnya pan-
pan untuk terbebas dari cibiran orang dan meraih dangan dan kaki yang terseok lunglai.*
Oleh : Nia Sofyana, S.Pd
(SMA Al Muslim Bekasi)
N ikut kita rasakan. Begitu pula yang Naura rasakan,
aura dapat membaca ketika usianya belum
lima tahun. Naura kecil sangat lincah dan
ketika ia mengajar di sebuah sekolah yang guru-
cerdas. Bahkan saat berada di taman kanak-
kanak Naura harus dibantu dengan mainan yang gurunya memiliki kecakapan dalam akhlak dan ilmu
agama Naura pun ikut terbawa. Setiap saat Naura
dapat menyalurkan motoriknya. Sebab Ia sangat selalu berbenah diri, dari mulai pakaian dan
aktif. Karena anak sulung, orang tuanya selalu perilakunya.
membiasakan hidupnya mandiri. Hingga Naura Naura kini lebih sopan. Celana-celana jeans
tumbuh menjadi anak yang diharapkan orang tua telah ia pensiunkan. Hijabnya kini menutupi
pada umumnya, sehat, pintar dan mandiri. perhiasan dada. Pakaian ketatnya pun berganti
Sejak Sekolah Dasar (SD) sampai menengah dengan gamis. Bukan karena mengikuti teman-
atas naura selalu mendapat juara kelas. temannya, Naura hanya merasa dirinya
Nilai akademiknya sangat bagus. Jika lebih nyaman dengan keadaan yang
orang bilang, ia adalah gadis yang baru. Batinnya merasakan
pintar, hal itu benar karena terbukti ketenangan. Bukankah setiap manusia
setiap tahun Naura selalu menjadi juara akan mengalami proses hijrah dalam
umum. Kedua orang tuanya merasa hidupnya? Seperti Rasullullah yang
beruntung, dengan latar belakang mereka berhijrah ke madinah untuk mendapatkan
yang tidak sekolah tetapi dianugerahi keadaan yang lebih baik daripada harus
seorang anak yang periang dan bersikeras menetap di makkah.
pandai. Suatu sore semua guru
Beranjak dewasa Naura dikumpulkan. Kepala sekolah
habiskan waktunya untuk bekerja menyampaikan, bahwa ada suatu
dan belajar. Kondisi keuangan keluarga hal yang tak dapat diselesaiikan maka diambil
mengharuskannya menjalani peran ganda, keputusan bahwa untuk setoran tahfidz anak-anak di
mahasiswa dan pekerja. Namun cita-citanya untuk serahkan ke guru kelas. Naura melihat tak ada
memiliki gelar sarjana menjadi cemeti paling mujarab satupun rekan kerjanya yang keberatan. Latar
di kala tubuhnya mengeluh kelelahan. Hingga belakang mereka yang sebagian besar lulusan
akhirnya Tuhan menghadiahkannya lulus sebagai pondok pesantren, tentu hal ini dianggap tidak sulit.
seorang sarjana pendidikan. Tetapi berbeda dengan Naura, sejenak segala sikap
Menjadi seorang guru bukanlah cita-citanya, percaya dirinya memudar, benteng kepintarannya
namun kegemarannya membaca dan menulis, seakan runtuh, sebab mengaji dan hafalan adalah hal
membuatnya memutuskan untuk mengambil bidang yang menjadi titik kelemahannya.
sastra dan bahasa Indonesia. Dorongan papanya “Sejak rapat tadi, saya perhatikan Ibu Naura
yang akhirnya membawa Naura ke fakultas lebih banyak diam. Apa ada masalah?” tanya Pak Alwi,
pendidikan sastra dan bahasa. rekan mengajar Naura.
Ayat suci yang mengatakan bahwa ridho orang “Terlihat ya, Pak!” jawab Naura malu. Sebab Pak
tua adalah ridho Tuhan itu sangat benar. Sebab Alwi adalah rekan kerja yang ia sukai. Namun Naura
naura selalu merasakan kemudahan jika menuruti tak pernah berani untuk memperlihatkannya, sebab
arahan orang tuanya. Seperti sekarang, ketika lulus Ia Ia tahu lulusan pondok pesantren seperti Pak Alwi
langsung mendapat tawaran mengajar di sebuah tentu lebih menyukai perempuan sholeha yang
Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang tak jauh memiliki kesetaraan dengannya dalam hal ibadah,
dari rumahnya. mengaji dan akhlak. Sementara Naura hanya seorang
Ada kata-kata bijak, ketika kita berkumpul perempuan yang mengaji dan akhlaknya masih
dengan penjual minyak wangi maka harumnya pun tergolong standar.
kita akan menciumnya dan jika kita berkumpul “Jujur saya belum pintar mengaji, Pak. Saya bisa
dengan seorang pandai besi, maka panas apinya pun mengaji tetapi mungkin tidak sepintar teman-teman
18 | Edisi April 2018