Page 17 - majalah_edukasi_1
P. 17
Oleh : Noor Azida Batubara liku perjalanan hidup mereka yang diselimuti kepedi-
STAI Haji Agus Salim Cikarang han dan cibiran tetangga. Ternyata, anak lelakinya itu
S telah menjadi pahlawan penyambung hidup bagi adik
engatan matahari terasa membakar kulit
-adiknya setelah kepergian mendadak sang ayah
wajahku. Setengah berlari aku menyeberangi
menghadap Sang Pencipta. Tidak lekang dari hati
jalanan menuju sebuah mobil angkutan kota
dengan sopir yang tak kenal lelah berteriak mencari sang ibu, kondisi fisik anaknya yang tak sempurna,
seringkali menjadi pemicu pertengkarannya dengan
penumpang. Setelah terduduk dengan memejamkan suami. Ekonomi keluarga yang morat-marit setelah
mata sejenak memendam penatnya hari ini, aku mu-
lai membuka mata. Pandangan aku arahkan keluar tempat usaha mereka di Jakarta tergusur karena
pembangunan kota, semakin memperburuk keadaan.
jendela mobil, masygul, melihat dengan mata kepala Bahkan, tak jarang kelaparan menemani keseharian
sendiri seorang anak kecil dengan fisik tak sempurna mereka.
berjalan bersama ibunya di persimpangan jalan di Bumi Priangan pun menjadi pilihan mereka men-
Kota Bandung. Berpakaian kumal dengan topi cap- gadu nasib. Berbagai usaha dilakukan, tetap tak
ingnya yang lusuh, berjalan tertatih memegang erat mampu memenuhi kebutuhan harian mereka. Hing-
lengan ibunya yang berpakaian serupa, tak mampu ga satu saat, mereka putuskan untuk meminta belas
melihat walau hanya seberkas cahaya. Kedua kakinya
itu begitu lemah menopang tubuhnya, terseok-seok kasihan orang lain yang iba dengan keadaan mereka
terutama pada anak lelaki mereka yang tak sempur-
berusaha mengikuti na. Banyak yang mengasihani keadaan
kemanapun
langkah sang mereka, juga tidak sedikit cibiran
yang diterima mereka dari tetang-
pelindung sejati ganya sendiri.
membawanya. “Ma, kepalaku sakit.
Ternyata Tadi ada yang
keduanya berjalan menuju mobil
lempari aku
yang sama denganku. Mengambil tem- dengan batu dan
pat duduk yang bersebelahan denganku, kena kepalaku.” teri-
nafas terengah-engah dari keduanya jelas sak pilu anak lelaki itu mengadu pada ibunya.
terdengar. Ya, Hampir tiap hari, lemparan batu kerikil dan
“Ma, aku lelah.” berbisik anak itu mengadukan getilan atau cubitan acapkali mendarat di badan anak
kegalauan hatinya kepada sang ibu sembari lelaki itu dari mereka yang berhati culas. Hati ibu itu
merebahkan kepala kecilnya di pangkuan remuk redam jika mendengar anaknya menangis dan
perempuan yang setia menemaninya itu.
Mata kecilnya yang tidak dapat melihat membuat- meratap disebabkan rasa sakit yang diterimanya
ku terdiam membisu hanya mampu melihat dengan tanpa tahu siapa yang telah melakukannya. Keper-
gian suami dan juga ayah dari anak-anaknya semakin
mata berkaca-kaca. Lengan penuh kasih sang ibu mempersulit keadaan. Perjuangan seorang ibu mem-
membelai lembut kepala kecil itu dan memeluk erat besarkan ketujuh anaknya yang masih kecil-kecil
tubuhnya seakan hendak memberikan kekuatan. menuntutnya untuk tetap tegar ditengah hinaan dan
Tersentak sesaat, kemudian berbisik di telinga
anak itu, “Sabar ya nak,kita pulang sekarang. Hari ini cibiran orang-orang yang tidak menyukainya.
Meradai atau meminta-minta belas kasihan orang
sudah cukup perjalanan kita meminta belas kasihan
dari orang-orang yang kita temui di jalan.” -orang bukanlah pilihan yang diinginkan. Tetapi, ke-
hidupan begitu keras menerpa tak memberinya ban-
Rasa penasaran membawaku berani untuk yak pilihan yang selama ini hidup dalam keterbata-
menyapa wanita itu, hingga mengantarkannya pu- san. Berharap adik-adiknya bisa bersekolah hingga
lang sampai ke sebuah rumah kumuh di pinggir rel jenjang pendidikan tinggi, agar dapat mengangkat
kereta api. Setibanya di depan pintu, berhamburan 5 derajat hidup mereka di masa depan. Anak lelaki itu
orang anak kecil keluar rumah menghampiri keduan- tetap bertahan dengan rutinitas hariannya. Tak tera-
ya yang ternyata semuanya adalah adik dari anak sa air mataku mengalir perlahan, begitu luar biasa
lelaki yang berteman dengan kegelapan itu. Udara
pengap yang menyergap hidungku di rumah itu, tak perjuangan mereka untuk bisa meraih kehidupan dan
pendidikan yang layak. Pendidikan yang akan
menyurutkan keingintahuanku akan perjalanan ke- mengantarkan mereka agar dapat hidup layak di ten-
hidupan mereka. Suara canda tawa mereka diselingi gah masyarakat.
tangisan dari anak perempuan yang paling kecil, Beberapa tahun berlalu, Ingatanku membawa
turut mewarnai percakapanku dengan sang ibu. langkah kaki mengunjungi rumah kecil itu lagi. Rumah
Terasa perih perasaan ini, mendengar penuturan
sang ibu yang dengan suara parau menceritakan liku- kontrakan pinggir rel kerata api. Ternyata, Tuhan
menjawab doa dan harapan mereka. Keinginan untuk
Edisi April 2018 | 17