Page 15 - majalah_edukasi_1
P. 15

Diana
                                                              (Guru SMPN 3 Cikarang Selatan)

                                  Sang Perenggut Nyawa

        B                                                     motornya terus melaju
                ulan boleh berganti, tahun pun boleh berlalu,
                                                              meninggalkan rumah Nenek.
                tapi tidak dengan kenangan itu yang membu-
                at hidupku kelam tak berarti. Empat belas ta-
         hun yang lalu tepatnya pada bulan Mei 2014 silam.    Kebingungan pun terus
                                                              menggerogoti jiwaku yang
         Pukul 07.00 pagi telepon genggamku berdering, di     sedang gundah dan rapuh.
         saat aku sedang berada di dalam kelas PPL. Kriiing,     Spontan saja pertanyaan keluar dari mulutku.”
         segera saja membuka telepon genggamku dan            Ayah kenapa tidak berhenti di rumah Nenek?” Ayah
         melihat siapa yang menelepon. Ternyata Om Saneh      hanya menjawab singkat “Nenek sudah dibawa ke
         yang menelepon dari Meulaboh. Aku segera             rumah ayahmu.” Otakku pun semakin berkecamuk,
         mengangkat telepon tersebut.                         aku bingung, aku takut, aku sedih, semua bercampur
            “Assalamualaikum, Om”, kataku tanpa ragu. Om      menjadi satu. Aku merasa pasti sudah terjadi sesuatu
         Saneh pun menjawab salamku dengan tegas, tak         dengan nenek, karena sepanjang perjalanan Ayah
         banyak kata yang diucapkan.                          Hasbalah hanya diam saja.
            Dia hanya bilang, “Diana segera pulang karena        Perjalanan  dari rumah nenek ke rumah ayah han-
         Nenek sedang sakit keras.” Perasaanku langsung       ya sepuluh menit saja, tapi rasanya tidak sampai-
         terasa tidak enak, ingin rasanya aku bertanya pen-   sampai, mungkin karena aku tidak bisa fokus lagi.
         jang lebar tentang keadaan Nenekku, tetapi Om        Rumahku pun akhirnya terlihat dari kejauhan. Aku
         Saneh langsung memutuskan telepon.                   panik, berbagai pertanyaan pun kembali menggangu.
            Dengan perasaan yang tidak menentu ku-            Aku melihat banyak orang di halaman rumah.
         langkahkan kakiku menghampiri guru pamongku un-      Bendera kuning pun melambai-lambai seakan dia
         tuk meminta izin. Alhamdulillah aku tidak mengalami   juga menunggu kedatanganku. Seluruh tubuhku
         kesulitan dalam proses perizinan. Setelah aku        rasanya kaku tak berdaya, denyut nadi  pun rasanya
         mengantungi surat izin, segera saja mencari mobil    berhenti berdetak, apa yang sebenarnya terjadi? Aku
         yang bisa mengantar ke Meulaboh. Tiket mobil         semakin sulit mengendalikan diri.
         tujuan Meulaboh pun sudah didapat, pukul 09.00          Ayah Hasbalah pun berhenti di depan rumahku,
         mobil tersebut sudah mulai meninggalkan kota Ban-    aku lihat semua kerabat hadir di rumahku. Aku ber-
         da Aceh. Perjalanan Banda Aceh -  Meulaboh  bi-      lari masuk ke dalam rumah, betapa terkejutnya aku
         asanya ditempuh sekitar 4 sampai 5 jam, tetapi tidak   nenek menyambutku dalam keadaan sehat walafiat,
         pada hari itu perjalananku sekitar 3 jam saja. Mobil   Dia menanggis memeluk tubuhku yang sudah tak
         melaju dengan kecepatan tinggi, aku tidak            berdaya. Tubuhku semakin lemas tak berdaya, peti
         mempedulikan tentang kecepatan tersebut, yang aku    jenazah pun tampak oleh mata, dalam kebingungan
         inginkan bagaimana caranya segera sampai di ru-      aku mencari semua keluargaku, Nenek, Kakek, Mami,
         mah.                                                 dan semua Adik-adikku, ternyata semua ada di situ,
            Perasaanku semakin tak menentu, tepat pukul       dan semuanya menangis. Dalam kebingungan aku
         12.00  siang tiba di terminal Meulaboh, ternyata di   sadar ada satu orang yang tak terlihat olehku, yaitu
         sana ayah Hasballah, adik ipak Kakekku sudah         Ayah. Belum selesai kebingunganku Lina Adikku pun
         menunggu. Aku dan Ayah pun segera bergegas           berteriak.
         meninggalkan terminal tersebut. Pertanyaan-              “Kakak, Ayah Kak. Ayah sudah ngga ada. Ayah di
         pertanyaan yang bersemayam di benakku langsung       tembak GAM kak!” Adek ku mengangis meraung-
         saja aku tumpahkan. Pertanyan demi pertanyaan        raung. Seluruh darahku rasa berhenti, kepalaku pus-
         pun aku tanyakan ke pada Ayah Hasbalah, tapi         ing dan berkunang-kunang. Sempat aku lihat mami
         sungguh aneh dan membuatku terheran-heran, kare-     duduk di antara kerabatku. Suaranya tidak terdengar
         na dari sekian banyak pertanyaanku, Ayah hanya       lagi mungkin karena sudah terlalu lama menangis.
         menjawab singkat dan padat saja, “Nenek sakit        Bagai petir di siang bolong, seluruh tubuh kaku tak
         keras.”                                              berdaya, air mata terus membasahi pipi, dadaku tera-
             Akhirnya aku pun terdiam tak bersuara. Setelah   sa sesak, kepala tak dapat kugerakkan lagi, pan-
         30 menit berlalu rumah Nenek pun sudah terlihat      dangan mataku pun kabur dengan linangan air mata
         dari kejauhan. Tampak ada beberapa orang berada      dan akhirnya akupun tak tahu apa yang terjadi.
         di halaman dan di dalam rumah Nenek. Pikiranku          Waktu terus berlalu, aku terbangun dari tidur,
         semakin tak menentu, tetapi keanehan kembali ter-    ternyata aku tidak sadarkan diri beberapa saat. Ne-
         jadi. Ayah tidak berhenti di rumah Nenek,  sepeda
                                                                             Edisi April 2018                              |  15
   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19   20