Page 16 - majalah_edukasi_1
P. 16
nek berbisik, ”Diana bangun kasian Ayah, sudah adik kecilku yang masih berusia dua tahun. Dia belum
menunggu lama. Ana yang sabar, mari kita antar tahu apa-apa, kupeluk erat dan kuciumi adik kecilku
Ayah ke tempat peristirahatan terakhirnya.” Mataku itu.
perlahan terbuka, aku mencoba mengingat yang su- Perasaan mulai bisa kukendalikan, walau rasa ke-
dah terjadi, air mataku kembali menetes, aku belum hilangan masih basah di ingatan. Kuhampiri mami
tahu apa yang terjadi pada Ayah, yang aku tahu saat yang masih tampak sedih, suaranya hilang. Dia terus
ini dihadapanku ada peti jenazah dan di dalamnya menangis. Melihat kondisi mamiku sepertinya dia
ada jasad Ayah yang terbujur kaku. tidak mungkin bisa bercerita tentang peristiwa malam
Nenek yang aku anggap sudah tiada justru beliau itu. Aku hampiri Nenekku yang cukup sabar dengan
yang menuntunku menuju peti Ayah agar mem- kepergian ayah dengan cara yang tak biasa ini. Aku
berikan ciuman untuk yang terahir kali. Perlahan tanyakan padanya apa yang sebenarnya terjadi. Ne-
kuamati sekujur tubuh ayah yang sudah terbungkus nekku pun menceritakan kronologis kejadian pada
kain kafan. Kupandang wajah Ayah dalam-dalam, malam itu.
rasanya tak percaya jika Ayah sudah tiada. Karena tak Tepat pukul 23.00 ketika kebanyakan orang di
ada firasat apapun sebelum kejadian itu terjadi. Mal- kampung sudah tidur. rumahku di gedor oleh
am di mana ayah menghembuskan napas terakhirn- sejumlah orang. Ayahku pun membuka pintu sambil
ya, aku bersama teman-teman kos bersenda gurau menggendong adik kecilku yang belum bisa tidur. Be-
hingga aku tertawa terus tak berhenti. Sampai- tapa terkejutnya Ayahku melihat sekelompok orang
sampai salah satu teman kos berkata, ”Diana jangan yang membawa senjata ralas panjamg di depannya.
ketawa terus, nanti nangis loh!” tetapi aku tak Ayah bertanya, “Ada keperluan apa kalian malam-
meresponnya dan terus tertawa. malam kesini?” mereka menjawab kami mau nyawa
Nenekku terus mendampingi, di saat-saat terakhir kamu. Ayah pun terduduk lemas tak berdaya. Seke-
Ayah kucium kening dan pipinya yang sudah terasa lompok orang GAM itu pun mengajak ayah untuk per-
dingin. Kubisikkan permohonan maaf di telinga gi, tetapi Ayah tetap tidak mau. Ayahku pun menga-
Ayah, berharap beliau bisa mendengarnya. Hatiku takan, “Jika kalian ingin menembak silakan tembak,
sedih dan hancur air mataku tak henti-hentinya dari pada saya kalian bunuh seperti babi hutan di
membasahi pipi, hingga terlihat mataku mem- jalan.”
bengkak. Kelompok GAM itu pun menempelkan senjata
Keadaanku masih sangat lemas, aku mengantar dipelipis kanan ayah, sambil mengatakan, “Mati kau.”
Ayah ke pemakaman. Tibanya di pemakaman aku peluru pun dilepaskan, tembakannya itu tembus ke
berdiri paling depan. Mataku tak berkedip aku terus sebelah kiri, mendengar suara tembakan mami pun
memandang tubuh Ayah yang di masukan ke liang keluar dari kamarnya,betapa kagetnya dia melihat
lahat, sedikit demi sedikit tanah pun menutupi Ayah sudah berlumur darah. Segera mami meraih
tubuhnya sampai akhirnya tak terlihat lagi. Pemaka- adik kecil ku yang masih dalam pelukan Ayah. Ang-
man pun selesai dilaksanakan. Aku bersimpuh di ba- gota GAM yang lain pun melepaskan tembakan tepat
tu nisan yang terukir nama Mustafa Ben Ahmad, mengenai dada dan lengan ayah, dengan tembakan
kuusap nama itu dengan linangan air mata, kupanjat- ketiga itu ayah menghembuskan napas terakhirnya di
kan doa semoga Ayahku diterima iman Islamnya di depan mami dan adik kecilku. Air mata ku tak henti
sisi Allah SWT dan diampuni segala dosa-dosanya. mengalir, aku mengutuk anggota GAM yang mem-
Haripun semakin sore, dengan sisa tenaga yang bunuh Ayahku.
aku punya bersama saudara-saudara aku kembali ke
rumah. Perasaanku hancur, hatiku sedih, untuk men-
jalani kehidupan ke depan tanpa seorang ayah.
Bagaimana dengan kehidupan Adik-adikku? entahlah
waktu itu aku tak sanggup berpikir. Setibanya di ru-
mah air mataku belum juga berhenti. Aku pandang
16 | Edisi April 2018