Page 27 - majalah_edukasi_6
P. 27
pun masuk hanya ngasih tugas tanpa Presenter di layar televisi berkata,
dijelaskan dulu.” “Muhammad Aril Faturohman, pengusaha
muda dari Lampung adalah sosok berjasa
Aku pun tentu berusaha yang telah membuka Yayasan Sepotong
menjawabnya dengan bijaksana, agar Hati, yang menampung anak muda putus
tidak terkesan membela tim guru. sekolah untuk melanjutkan studinya
Walaupun dalam hati aku mengakui melalui Kejar Paket. Mari kita kenal lebih
keadaan yang diutarakan oleh Rizal. jauh sosok Muhammad Aril
Faturrohman...”
Kini hanya tinggal aku dan Aril di
ruang BK. Sengaja Aril belum kuijinkan Sambil kumasukkan kue kering yang
masuk ke kelas, karena dari raut wajahnya telah dioven ke dalam toples, mataku terus
terlihat gusar. menatap layar televisi. Kalimat pujian tak
henti-hentinya kugumamkan di mulutku.
“Aril, ibu sangat paham apa yang Aril Subhanalloh, anak muridku saat ini
rasakan. Kecewa, pastinya. Tapi ibu tidak menjadi sosok yang menginpirasi pemuda-
menutup mata perubahan yang sudah pemuda lainnya. Tak kusangka, aku akan
kamu lakukan seminggu ini.” Kutatap melihatnya di layar televisi.
wajahnya dengan lembut.
Ting tong....
“Sia-sia Aril berubah bu. Ngga ada
guru yang liat. Semua masih saja nuduh Terdengar suara bel pintu berbunyi.
Aril biang keladinya. Semua guru
beranggapan, Aril yang menghasut mereka “Assalammualaikum”.
untuk keluar kelas. Ngga ada yang mau
dengerin penjelasan Aril tadi bu.” Aril “Waalaikumsalam.” Aku pun
kembali mengusap matanya. Ada luka di mengelap tanganku dan membereskan
hatinya. toples-toples di meja. Segera bergegas
menuju pintu.
“Jangan patah semangat Nak, Tetap
tunjukkan Aril yang sekarang bukan Aril Aku diam tak bersuara saat pintu
yang dulu.” Kugenggam tangannya erat. kubuka. Hanya air mata yang tiba-tiba
menetes perlahan.
“Hanya ibu yang memahami aku.
Doakan aku sukses ya bu, biar orang ngga “Kaukah itu, Nak?”, tanyaku ragu
lagi mencemooh aku.” Aril membalas sambil menatap sosok di balik pintu.
menggenggam tanganku.
“Ya bu, aku Aril. Murid ibu, lima belas
Kuusap rambutnya sambil tahun yang lalu.” Diambilnya tanganku,
kubisikkan, “InsyaAlloh selalu ibu selalu diciumnya punggung tanganku. Kurasakan
mendoakan.” airmatanya pun menetes di punggung
tanganku.
Dua minggu setelah kejadian ini, Aril
pamit keluar dari sekolah. Ia pindah ke “Subhanalloh, Nak. Sukses sekarang
kampung ayahnya. Aku pun tak pernah lagi kau, Nak. Ibu bangga padamu.” Kupeluk
mendengar kabarnya. bahunya yang sekarang bidang. Ia pun
agak membungkukkan badannya agar aku
Dan kini, baru saja kulihat di layar tv, dapat memeluk bahunya.
sosok yang dulu kukenal. Tidak jauh
berbeda, hanya ada penambahan “Semua atas doa ibu. Keyakinan ibu
cambang dan kumisnya saja. Sorot pada aku yang membuat aku kuat.
matanya masih sama seperti dulu.
27 | M a j a l a h E d u k a s i 6 - F e b r u a r i 2 0 2 0