Page 8 - majalah_edukasi_3
P. 8

AMPLOP MASA DEPAN
                                  Karya : Lili Priyani (Guru SMAN 2 Cikarang Utara)


          Saya  memang  terlahir  dari  keluarga  yang  kurang  beruntung.  Bagaimana  mau  dikatakan
       beruntung? Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, Bapak harus banting tulang menjadi kuli
       pasir dari pagi hingga sore hari. Dengan upah perhari 30 ribu rupiah, tentunya tidak bisa diandalkan
       untuk  memenuhi  semua  kebutuhan  hidup  kami  sekeluarga.  Ibuku  juga  bekerja  sebagai  buruh
       setrika bagi tetangga yang membutuhkan jasanya untuk merapikan baju. Biasanya  Ibu dibayar
       15 ribu rupiah untuk sekali menyetrika dengan jumlah baju dan celana yang sudah menggunung,
       barangkali setelah semua baju dan celana sudah tidak ada lagi di dalam lemari keluarga Sang
       Majikan.
          Kami, empat bersaudara, saya duduk di kelas 3 SMA, adikku laki-laki di kelas 2 SMP  dan  3 SD,
       serta Si Bungsu yang baru berusia 5 tahun. Seharusnya Si Bungsu bisa masuk TK seperti anak-anak
       lain yang tinggal di kampungku, tetapi adikku tidak. Untuk masuk TK dibutuhkan biaya yang tidak
       sedikit, bahkan lebih mahal dibandingkan untuk mendaftar ke SMP atau SMA. Maka, Adikku di rumah
       saja, belajar cukup denganku: membaca, menulis, dan berhitung. Kujamin, bila diadu dengan anak
       seusianya, adikku tak akan kalah bersaing bahkan mungkin akan mengungguli mereka. Menurutku,
       adik bungsuku ini terlahir sebagai anak yang cerdas.
          Demi melihat kondisi keluarga yang seperti itu, maka kuputuskan untuk membantu meringankan
       beban  orang  tua,  paling  tidak  untuk  keperluan  sekolahku,  bisa  kutanggulangi  sendiri.  Bahkan
       untuk jajanku atau membeli  beberapa  barang-barang yang kupakai  untuk sekolah, seperti tas,
       jilbab,  sepatu,  kotak  pensil,  alat  tulis,  bisa  kupenuhi  sendiri  dari  uang  yang  kumiliki.  Setiap  sore
       setelah pulang sekolah, saya langsung bersiap-siap untuk berangkat ke rumah ‘siswa’. Ya, saya
       menyebutnya demikian karena saya datang ke rumahnya untuk mengajar. Anak-anak SD yang
       oleh orang tuanya dipercayakan kepadaku  untuk belajar Matematika, IPA, Bahasa Inggris, atau
       mengerjakan PR yang diberikan oleh gurunya di sekolah. Setiap hari dari Senin hingga Sabtu, saya
       mengunjungi mereka bergantian, seminggu dua kali pertemuan.
          Untuk satu kali pertemuan, saya dibayar 20 puluh ribu rupiah, upah yang lebih mahal dibandingkan
       dengan upah yang diperoleh ibuku menyetrika.  Bila  seminggu ada enam kali pertemuan, berarti
       bisa  dihitungkan  jumlah  yang  bisa  kuperoleh  dalam  seminggu,  apalagi  dalam  sebulan.  Bagiku,
       jumlah itu sangat banyak. Biasanya  setelah kuterima bayaran dari orang tua ‘siswa’, kuserahkan
       semuanya kepada Ibu. Tetapi Ibu selalu menolaknya, Ibu katakan bahwa semua uang itu adalah
       hakku. Semuanya buatku.  Menurut Ibu, biar saya saja memegang semua uang itu untuk keperluan
       saya sendiri.
          Bahkan Ibu pernah berujar, “Seharusnya Bapak dan Ibu yang mencukupi semua keperluanmu,
       Nak. Tapi Bapak dan Ibu tak mampu’. Kulihat derai air mata Ibu tumpah sambil mengucapkannya.
          “Tak apa, Bu. Saya juga senang melakukannya. Nanti setiap bulan biar saya bantu  membelikan
       beras, minyak goreng, dan mie instan, ya Bu”, begitu jawabku. Tak tega untuk banyak berkata-kata
       karena kulihat air mata Ibu lebih deras mengucur ketika mendengar penjelasanku itu.
          Hari ini adalah minggu pertama di bulan September.  Saya menghitung jumlah uang yang tadi
       sore  kuterima    dari  para  orang  tua  siswa.  Kubagi  menjadi  beberapa  amplop,  masing-masing
       amplop  kutulisi:  Untuk  Rumah  (maksudnya  untuk  keperluan  keluargaku  seperti  membeli  beras,
       minyak  goreng,  dan  mie  instan);  Untuk  Adik  (biasanya  kuberikan  kepada  adikku  yang  mana
       saja sesuai dengan keperluan sekolah mereka yang sifatnya mendadak. Ini untuk jaga-jaga bila
       sewaktu-waktu ternyata adikku membutuhkan uang untuk keperluan sekolah sementara Bapak
       dan Ibu sedang tidak mempunyai uang); Untukku (untuk semua keperluanku seperti membeli buku,
       alat tulis, sepatu, jilbab, dan lain-lain, termasuk untuk jajanku); dan Untuk Masa Depanku (nah, yang
       terakhir ini adalah tabunganku untuk nanti kupergunakan bila seandainya saya  berkesempatan
       kuliah).
          Sama seperti anak-anak SMA lain, tentunya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
       tinggi.  Meskipun  banyak  juga  di  antara  temanku  yang  tidak  berkesempatan  untuk  melanjutkan
       kuliah, tapi saya yakin bila mereka diberi pertanyaan apakah ingin kuliah atau tidak maka jawaban
       mereka sebenarnya adalah: ingin kuliah. Tapi mungkin, ada alasan lain yang menyebabkan mereka

                                                          8
   3   4   5   6   7   8   9   10   11   12   13