Page 44 - majalah_edukasi_10
P. 44

Semakin hari aku semakin tersiksa, gejolak hati dan otak sungguh berlawanan. Hati menyuruh bertahan dan
                 ikut alur sesuai petunjuk mimpi, namun otak selalu membayangkan, apa yang aku harapkan, calon lain juga
                 ada, lebih dekat dan jelas asal usul ya. Orang Papua, siapa dia, bagaimana aslinya keluarganya apakah aku
                 mampu dibenturkan dengan berbagai perbedaan budaya belum lagi pasti aku akan di Bawa jauh. Saat
                 kegundahan hati begitu menyiksa, bimbang melangkah, sholat istiharah semakin aku gencarkan. Mimpi itu
                 kembali hadir, bahwa hidup dengan mas Efrasa banyak kebaikan di dalamnya.
                 Lambat laun kabar aku dekat dengan orang Papua mulai sedikit banyak terdengar di keluarga, banyak yang
                 menasihati hentikan saja, sebelum terlanjur. Berbagai alibi mereka utarakan. Seandainya saat itu aku bisa
                 memilih, lebih baik meninggalkan dan tidak mengenalnya. Namun, gejolak hati dan kemana cinta itu akan
                 berlabuh sungguh aku tidak berkuasa menahanya. Dan mimpi mimpi itu semakin nampak kejelasan.
                 Kenyamanan hidup aku dapatkan ketika menikah dengan mas Efrasa.
                 Cibiran, nasihat seolah menjadi makanan harian. Pernah suatu hari keluargaku menyampaikan " _kamu itu
                 terlalu mendramatisir mimpi, mimpi itu hadir Karena kamu selalu mengingat ya, coba lupakan pasti mimpi itu
                 tidak akan datang" duh gusti, aku sudah berusaha tapi kenapa justru mimpi itu kembali datang dan sungguh
                 sangat menyiksaku_ Seandainya bisa, hentikan waktu saat ini juga, agar semua rasa ini tidak hadir dan semua
                 akan  baik baik saja  (batin ku). Ujian datang ketika adanya penolakan dan keberatan keluarga besar. Aku tak
                 kuasa lagi menahan beban pikiran yang teramat dalam, hari hari kurang semangat, waktu makan terabaikan
                 dan waktu istirahat kurang. Betapa bumi tempat berpijak serasa di atas bara api, sewaktu waktu dapat meledak
                 dan menghanguskan tubuh ku. Kenyamanan, ketenangan tak lagi aku rasakan.
                 Keluarga mulai resah melihat ku seolah tidak menghiraukan nasihat nya, mereka berusaha agar aku tetap di
                 Wonosobo. Segala cara di coba, mulai dari pendaftaran PNS dengan calo dan lainya, namun semua nihil tiada
                 hasil. Aku tak mampu lagi menyembunyikan perasaan dan kegalauan hati, puncaknya aku merasakan tubuh
                 perlahan melemah. Lemas, sempoyongan, mual mual, tidak enak makan, akhirnya tumbang juga.
                 Inilah titik terberat yang aku rasakan, antara otak dan hati tidak sejalan. Sakit mulai datang, bibir pucat pasi,
                 lidah kelu keluar keringat dingin membasahi. Badan tergolek lemah di atas tempat tidur. Orang tua ku
                 membawa ku ke RS. Aku di diagnosa anemia HB 6,3 dan harus transfusi darah. Alhamdulilah 5 hari di rawat
                 diperbolehkan pulang oleh dokter. Ini bukan awal kesembuhan, justru malah sebaliknya. Di rumah kondisi
                 semakin lemas, nafsu makan tidak ada. Kondisi demikian membuatku semakin ragu memutuskan hidup dengan
                 mas Efrasa, karena kehangatan di keluarga bagiku lbh nyata dan terasa. Kembali mimpi itu datang menguatkan,
                 bahwa badanmu di servis dulu sebelum ke Papua, agar benar benar sehat dan mendampingi suami pasti lbh
                 nyaman. Pikiran ku kembali terombang ambing, kondisi pun semakin drop. Kurus kering, jalan pun tidak
                 mampu, kesenggol sedikit pun pasti jatuh. Keluarga mulai panik, dan prihatin melihat kondisi ku, setiap yang
                 datang menengok pasti menangis, seolah tidak ada harapan lagi untuk sembuh,sudah terlihat mayat hidup
                 yang tinggal kulit pembungkus tulang.
                 2 Minggu di rumah, aku kembali masuk ke RS, kali ini kondisi sangat parah, mall nutrision, kurang protein,
                 maag akut dan juga flek kelenjar TB. Sungguh nano nano banget diagnosa dokter. Saat itu, aku hanya bisa
                 menangis sambil terus memohon maaf pada orang tuaku. Alhamdulillah dukungan keluarga besar mampu
                 membuatku kuat. Terbaring lemah tanpa daya dan tenaga, sesekali dokter bertanya jam, karena infus yang aku
                 gunakan tidak masuk ke dalam tubuh, seolah darah pun berhenti melakukan tugasnya.
                 Pengunjung yang datang, tak kuasa meneteskan air mata, kebanyakan dari mereka menyampaikan, apakah
                 masih ada keajaiban hidup. Transfusi darah, albumin suntik berbagai macam obat seolah menjadi rutinitas
                 harian. Ak hanya menangis, demikian parahkah aku, sekiranya waktuku sudah dekat, mungkin ada rasa bahagia
                 terlepas dari semua kebimbangan yang Ada, di sisi lain apakah kembali ke akhirat sudah cukup bekal, kasihan
                 sekali orang tuaku, aku belum dapat membahagiakan Mereka.
                 Saat itu, benar benar di ambang keprasahan, ujian terberat, bahkan tidak sedikit yang sudah mempersiapkan
                 hati dan mental sekiranya Nyawaku akan kembali kepada Nya. Namun, tidak dengan ayahku, beliau bersikeras
                 berbagai macam cara dilakukan untuk memulihkan kondisiku. 8 hari aku di rawat, belum menunjukkan hasil
                 signifikan, berat badan turun drastis hampir setengah nya, rambut sudah gembel, di pegang pun sakit. Cukup
                 mengenaskan.
                 Kembali ke rumah, penderitaan penderitaan tambah aku rasakan. Setiap malam dada terasa sesak, sekujur
                 badan terasa sakit yang entah susah untuk di gambarkan, tambah lagi gatal gatal yang sungguh menyiksa.
                 Hampir tiap malam keluargaku  terjaga, tidak bisa lelap tidurnya. Karena tangisan ku yang sungguh menyayat
                 hati menahan sakit. Kondisiku seperti  bayi yang membutuhkan pertolongan tubuhku begitu lemah,untuk ke
                 WC pun aku butuh bantuan.
                 Obat demi obat aku telan, makanan herbal, semua orang sampaikan aku lakukan.  Kondisi ini  membuat ku
                 benar benar pasrah dengan kuasa Tuhan.  Orang tua dan keluarga besar ku lebih bisa menata hati bahkan ayah
                 ku menyampaikan, siapa yang datang duluan ke rumah, itulah jodoh anakku.
                 Melihat kondisiku yang cukup memprihatinkan, saudaraku diam diam telp ke mas Efrasa , supaya
                 menyempatkan waktu bisa menjengukku, mungkin bisa di jadikan obat. Selang 1 minggu benar adanya, dia
                 benar benar nyata dan ada. Ketemu hanya sekedar memberikan doa secara langsung dan menyarankan agar
                 banyak berdoa. Namun pengaruhnya sungguh luar biasa. Mungkin ini yang di sebut kekuatan cinta karena jalan
                 Nya. Seperti sang unta yang menemukan sumber air minum di gurun sahara. Perlahan beban batin ku sedikit
                 terobati  hal ini berpengaruh juga kondisi kesehatanku. 4 bulan tergeletak di tempat tidur, keluar hanya untuk
                 kontrol kesehatan, membuat aku tetap bersyukur karena begitu banyak orang orang yang menyayangiku.
                 Semua aku  lalui dengan keikhlasan dan kesabaran hati, tidak pernah menyalahkan keadaan karena di balik rasa
                 sakitnya banyak hikmah terindah yang dia dapatkan.
                                                                  40
   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49