Page 34 - majalah_edukasi_10
P. 34
Aku Bukan Anak Bodoh
Oleh Salima Sosan - Praya_Lombok tengah (NTB)
Namaku Adish, ketika aku masih kecil teman-teman biasa menggilku dengan sebutan “sih
bodoh”, karena memang aku selalu ketinggalan soal pelajaran, kadang orang-orang di
sekitarku males menyuruhku karena aku agak tulalit, entah lah.. aku merasa kurang fokus jika
di ajak ngobrol sama lawan bicara, akupun tidak paham-paham dengan materi pelajaran yang
diberikan di kelas. Pada waktu itu aku kelas lima SD, namun IQ ku standar dengan anak kelas
satu SD, untuk baca tulis saja aku belum lancar. Setiap kali melihat buku yang kurasakan
adalah mengantuk dan pusing, hal itu terjadi terus-menerus, Sampai-sampai ibuku selalu
memarahiku karena tidak mau belajar.
Aku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, kakak-kakakku semuanya pintar di sekolahnya,
mereka selalu mendapat nilai tinggi di sekolah bahkan mendapat peringkat di sekolahnya,
mereka semua pandai kecuali aku. Aku juga merasa bingung dengan diri sendiri, melihat
pelajaran adalah suatu hal yang menakutkan bagiku, apalagi jika bertemu dengan guru yang
kiler, bisanya Cuma marah-marah padaku. Aku sering dijadikan bahan gunjingan teman-teman
di sekolah, dan guru-guru selalu keluh kesahnya pasti tentang aku.
Sering aku jumpai ibu sedih melihat kondisiku ini,setiap pembagian rapot persemester ibu selalu
menanyakan “berapa merahnya dek ?”. Duh suatu perkataan yang bosan aku dengar…! “gak
tau”, jawabku kepada ibu dengan wajah cemberut tanpa senyum. Belum lagi saudara-saudara
yang lain mentertawakan hasil rapotku. apalagi di saat pembagian rapot kenaikkan kelas, ibu
selalu di panggil sama guru karena aku sering terancam tidak naik kelas. ibuku selalu meohon-
mohon kepada wali kelasku supaya aku bisa naik kelas. Adapun aku naik kelas itu, lantaran
belas kasihan guru kepadaku, karena aku tidak pernah buat masalah di sekolah. Namun kali
ini guruku sudah tidak bisa lagi mengikuti permohonan ibu, “ kami pihak sekolah mohon maaf
sama ibu, sepertinya kami tidak bisa menaikkan Adish ke kelas enam, karena daya saing
semakin tinggi, IQ Adish masih belum bisa standar anak-anak yang lain”, kata wali kelasku
terhadap ibu. Ibuku hanya diam dan meneteskan air matanya, “baik lah pak terima kasih”,
sahut ibuku saat itu. Kami pun keluar dari ruang kelas, sepanjang jalan ibuku hanya diam saja
kepadaku, sambil sesekali kulihat wajahnya yang sedih melambangkan kekecewaannya
terhadapku.
Seiring berjalannya waktu, ada salah seorang teman ibu yang bernama tante vika, dia adalah
rekan bisnis ibu dalam penjualan baju. Tante vika sangat baik sekali kepada kami, setiap
datang kerumah dia selalu membawakan kue untuk kami. Ketika aku hendak menyantap kue-
kue yang dibawanya, lagi-lagi aku mendengar perkataan yang menjengkelkan yang kali ini
datang dari tante vika “Adish dapat rangking berapa?”, tanya tante vika kepadaku. Kakakku
yang pertama spontan langsung menjawab “rangking satu tante, dari belakang ha…ha…ha.”,
dan di susul ejekkan demi ejekkan dari kakak-kakak yang lain sambil mentertawakanku, tante
vika kembali bertanya” tapi Adish naik kelas kan?”, kakakku yang kedua kembali spontan yang
menjawabnya, “enggak tante, dia anak kesayangan sekolah jadi dia di pertahankan di
sekolahnya ha…ha…ha…”. Aku hanya diam seribu bahasa sambil menatap tante vika. Aku tak
tahu apa yang difikirkan tante vika saat itu, dia menatapku begitu dalam, seolah dia tau isi
hatiku.
Kali ini aku mulai lagi masuk sekolah, karena tidak naik kelas maka jadilah aku masih duduk di
kelas lima, semetara teman-temanku yang lain sudah dikelas enam, “hai si bodoh” ucap
temanku sambil berteriak dengan bangganya, “sebaiknya kamu gak usah sekolah, sana jadi
gembel saja, itu lebih cocok untukmu yang gak bisa apa-apa”, ucapan yang beitu tajam ku
dengar. Aku tidak mau ambil pusing dengan perkataan itu, lanjut ku jalani saja hidup ini walau
perkataan pahit selalu ku temui.
Setibanya aku pulang kerumah, ku lihat ada tante vika yang datang bersama temannya, ialah
mas anto, ternyata mas anto ini adalah pemilik salah satu bimbingan belajar di daerah kami.
Tante vika menawarkan kepada ibu untuk memasukkanku ke bimbingan belajar milik mas anto,
awalnya ibu agak keberatan karena baiayanya yang cukup mahal, namun, setelah di beri
penjelasan oleh mas anto, dan aku akan di ringankan biaya olehnya. Akhirnya ibuku
menyetujuinya, aku hanya diam terpaku ketika mereka semua memandangiku dengan mimik
wajah miris, ingin rasanya aku berteriak memuntahkan semua yang ada dalam hatiku, hinaan,
cacian, dan tatapan-tatapan miring orang terhadapku.
30