Menyerah Saat Jatuh
Oleh : Fiona Letisha G. P.
“Lea. Saat sudah besar ingin jadi apa?” tanya Jack sembari tersenyum, melihat anaknya yang sedang belajar menulis.
Azalea menoleh ke arah ayahnya, menghentikan aktivitasnya sejenak, “Lea ingin menjadi sepeti ayah.”
Jack mengernyitkan dahinya, “Maksud Lea?”
“Lea ingin jadi penulis cerita fiksi sukses seperti ayah,” ujar Azalea sembari tersenyum manis.
Jack diam, tak ada sepatah katapun yang ia keluarkan dari mulutnya. Hal itu lantas berhasil membuat senyuman pada anak perempuannya yang berusia 6 tahun menjadi memudar.
“Ayah tidak senang jika Lea menjadi penulis, ya?” tanya Azalea sembari menundukkan kepalanya dengan wajah yang cemberut.
Jack tersadar dari lamunannya, “Lea bercanda? Tentu saja, ayah sangat senang jika Lea menjadi penulis seperti ayah.” Jack menggendong anaknya sembari menggelitik perut anaknya.
Azalea yang semula cemberut pun segera tertawa saat Azalea bisa merasakan tangan ayahnya yang membuat perutnya terasa geli.
“Ayah. Geli, ayah,” ucap Azalea sembari tertawa.
“Sebab itu, lain kali Lea harus tetap tersenyum, ya? Agar tidak ayah gelitikki lagi,” ujar Jack sembari berhenti menggelitiki perut anaknya itu.
Azalea perlahan menghentikan tawanya, “siap, ayah.”
“Janji, ya?”
“Iya, ayah.”
Wanita paruh baya yang dari tadi berdiri di ambang pintu, tersenyum melihat interaksi antara suami nya dan anak perempuan satu-satunya itu.
…..
Dua remaja perempuan itu melangkah memasuki kantin.
“Lea. Nanti saat kuliah, kamu ingin ambil jurusan apa?” tanya Amanda sembari duduk di salah satu kursi kosong di kantin.
Azalea ikut duduk di samping Amanda. “Aku ingin mengambil jurusan sastra. Aku ingin memperdalam pengetahuanku tentang cerita, novel, naskah, dan karya sastra lainnya. Bagaimana denganmu?”
“Sepertinya aku akan mengambil jurusan kedokteran. Apa kamu tetap bertekad menjadi seorang penulis?” tanya Amanda.
Azalea tersenyum hangat, “tentu saja. Kamu tahu bahwa menjadi penulis adalah cita-citaku sedari kecil.”
Amanda menghela napas, “menjadi seorang penulis itu tidak mudah, Lea. Di zaman sekarang, sudah jarang ada orang yang suka membaca buku. Kebanyakan orang cenderung lebih suka menonton film atau bermain game.”
“Manda. Aku sudah mendengar kalimat itu berulang kali dari semua orang. Aku tahu sudah jarang ada orang yang masih suka baca buku, dan maka dari itu aku ingin menjadi penulis dan membuat cerita yang membuat orang-orang tertarik untuk membaca buku. Aku tidak ingin budaya membaca di Indonesia semakin menurun dan aku hanya diam saja,” ujar Azalea.
“Aku juga tahu bahwa menjadi seorang penulis yang sukses itu tidak mudah. Tapi aku akan terus berusaha dan aku tahu bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil,” Azalea tersenyum hangat untuk meyakinkan sahabat itu.
Amanda ikut tersenyum kecil, “Aku akan selalu mendukungmu, Lea.”
“Terima kasih, Manda. Aku juga akan selalu mendukungmu. Oh iya. Nanti sore, mau ke perpustakaan kota, tidak?” tanya Azalea.
“Boleh. Aku rasa kita harus mencari buku-buku tentang soal ujian kelas 12 yang akan kita laksanakan sekitar 3 bulan lagi,” jawab Amanda.
“Benar. Jam 4 sore, aku akan menjemputmu di rumah, ya?”
“Tidak masalah.”
…..
Azalea melangkahkan kakinya menuju keluar dari gedung dengan toga yang ia gunakan dan didampingi wanita paruh baya di sampingnya.
“Lihat, Bu. Lea berhasil mendapatkan gelar impian Lea ini.” Azalea menunjukkan selempang di tubuhnya yang bertuliskan ‘Azalea Vallencia S.S.’ dengan penuh bangga sembari tersenyum senang pada wanita paruh baya di sampingnya.
Sedangkan wanita paruh baya yang diajaknya bicara itu hanya tersenyum manis melihat anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa.
“Seandainya ayah masih ada di sini. Ayah pasti akan sangat bangga padaku,” lirih Azalea pelan sambil menundukkan kepalanya, membuat orang-orang tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
“Lea. Ayah akan selalu bangga padamu bahkan saat ia sudah tidak ada di sini,” ujar wanita paruh baya itu yang bernama Sarah dengan senyum manis yang ia tujukkan pada anaknya.
Azalea masih setia menundukkan kepalanya. Membuat tangan kanan Sarah terulur untuk menaikkan kepala anaknya secara perlahan.
Sekarang, Sarah bisa melihat wajah anaknya yang menangis dalam diam. Sarah pun lantas segera tersenyum kecil.
“Lea. Sifatmu sangat mirip dengan ayahmu. Kalian tidak pernah ingin jika orang-orang tahu kalian menangis. Kalian selalu berusaha menyembunyikan tangisan kalian dari semua orang. Padahal menangis itu hal yang wajar. Menangis adalah cara kalian mengungkapkan perasaan kalian,” ucap Sarah panjang lebar.
Azalea tersenyum, ini adalah hal yang selalu ibu nya lakukan saat mencoba menghibur dirinya yang sedang menangis. Dan Azalea segera menghapus air matanya sebelum semakin banyak orang lain yang melihat dirinya menangis.
“Ayo, kita pulang,” ajak Sarah.
Azalea tersenyum dan mengangguk.
…..
“Lea. Aku dengar dari ibumu jika kau sudah selesai menulis cerita pertama mu?” tanya Amanda di ujung telepon.
“Benar. Aku sudah selesai menulis cerita pertamaku. Namun, saat aku mengirim naskah ku ke beberapa penerbit minor, sepertinya diantara mereka tidak ada yang mau menerima naskahku,” jawab Azalea.
“Tidak apa. Itu adalah hal yang wajar karna ini adalah cerita pertamamu. Cobalah kirim naskahmu ke penerbit lainnya, Lea. Aku akan selalu mendukungmu, Lea,” ucap Amanda di ujung telepon.
“Terima kasih. Aku akan mengirim naskahku ke penerbit lainnya. Omong-omong, kau sudah di terima bekerja di rumah sakit impianmu itu?”
“Sudah. Aku sudah menjadi perawat di sini,” ujar Amanda di ujung telepon.
“Aku turut senang mendengarnya.”
“Lea. Waktu istirahatku sudah hampir habis. Telponnya ku tutup dulu, ya?” tanya Amanda.
“Baiklah. Sampai jumpa,” jawab Azalea.
“Sampai jumpa.”
Tut…
Azalea menghela napas panjang. Akhir-akhir ini, ia tidak bisa berpikir jernih. Bahkan sekarang Azalea sedang duduk di kursi meja belajarnya dengan tatapan kosong dan tanpa memiliki tujuan yang jelas. Dan Azalea juga tidak menyadari bahwa ibunya telah berdiri di ambang pintu sejak tadi.
Tok
Tok
Tok
Azalea menoleh ke ambang pintu yang memperlihatkan ibunya yang berdiri di sana, sedikit terkejut karena tidak menyadari kehadiran sang ibunda yang berdiri di sana, entah sejak kapan.
“Boleh ibu masuk?” tanya Sarah dengan senyuman manis.
Azalea ikut tersenyum, “tentu saja, Bu.”
Sarah melangkahkan kakinya, masuk ke dalam kamar anaknya dan mendudukkan diri di sofa yang tersedia di kamar anaknya itu.
Sarah memandang anaknya yang terlihat sedang berpikir di meja belajarnya.
Azalea menghela napas panjang, “bu. Sepertinya cerita pertamaku ini akan gagal.”
“Ada apa? Ada masalah? Apa yang salah, nak?” tanya Sarah, tak mengalihkan pandangannya dari anaknya.
Azalea menoleh ke arah ibunya, “aku sudah mengirim naskahku ke beberapa penerbit, Bu. Tapi mereka semua sepertinya menolak untuk menerbitkan naskahku, Bu,” lirih Azalea dengan wajah yang cemberut.
Mendapat jawaban dari anaknya, Sarah tertawa kecil.
Azalea mengernyitkan dahinya, “kenapa ibu tertawa? Apa yang lucu, Bu?”
Perlahan, Sarah menghentikan tawanya, “ibu sudah sering bilang bahwa sifatmu itu sangat mirip dengan ayahmu. Kalian selalu menyerah saat usaha pertama kalian gagal. Padahal kegagalan itu adalah pengalaman sekaligus pelajaran terbaik yang ada di dunia. Semakin sering kamu gagal artinya kamu semakin pintar. Kenapa kalian menyerah saat kalian jatuh? Lea tahu? Saat pertama kali ayah menulis cerita pertama nya, ayah juga merasakan hal yang sama seperti yang sekarang Lea rasakan. Ayah sempat ingin menyerah begitu saja tapi ibu selalu bilang pada ayahmu bahwa kegagalan bukan akhir dari segalanya. Hingga akhirnya, ayah mulai semangat menulis cerita barunya dan mengirim naskahnya ke banyak penerbit. Dan akhirnya, ayah berhasil mencapai impiannya untuk menjadi penulis. Karyanya di terbitkan oleh penerbit yang cukup terkenal dan membuat karya ayahmu di kenal banyak orang. Dari situ, ayahmu mulai menulis cerita-cerita baru bahkan hingga ayahmu menghembuskan napas terakhirnya saat usiamu menginjak 7 tahun. Jatuh, bangun, jatuh, dan bangun lagi adalah hal biasa yang ayah lakukan sepanjang hidupnya. Dan ibu tahu bahwa anak ibu juga akan melakukan hal yang sama seperti ayahnya, bukan?” ucap Sarah panjang lebar yang diakhiri senyuman manisnya.
Azalea ikut tersenyum, “Tentu saja, Bu. Aku janji tidak akan menyerah sebelum karya ku di kenal banyak orang.”
“Lea. Tidak mencoba mengirim naskah ke penerbit impianmu?” tanya Sarah.
“Penerbit impianku itu termasuk ke dalam penerbit mayor, Bu. Akan sulit bagiku supaya naskahku di terbitkan. Secara, naskahku bahkan tidak di terima oleh penerbit minor,” lirih Azalea.
“Tidak ada salahnya untuk mencoba, Lea,” ujar Sarah lembut.
Suasana hening sejenak.
“Baiklah. Aku akan coba, Bu.”
…..
Azalea menuruni tangga sambil melompat-lompat kegirangan, menghampiri sang ibu yang sedang memasak di dapur.
Sarah bisa melihat gerak-gerik sang anak yang terlihat sangat senang, “Ada apa, Lea? Sepertinya hari ini, Lea sangat senang.”
“Bu. Ibu tahu? PENERBIT IMPIANKU, MENERIMA NASKAHKU, BU!” pekik Azalea senang sambil melompat kegirangan.
“Benarkah?” tanya Sarah yang terkejut.
Azalea mengangguk-anggukan kepalanya.
Sarah memeluk anaknya yang lebih tinggi sedikit dibanding tubuhnya. Azalea pun membalas pelukan ibunya.
“Ibu tahu, kau pasti bisa, nak,” lirih Sarah.
“Terima kasih karna selalu mendukungku, Bu,” jawab Azalea.
…..
“Ada apa, Lea?” tanya Amanda dari ujung telepon.
“Manda. NASKAHKU DI TERIMA OLEH PENERBIT IMPIANKU!” pekik Azalea kuat karna tidak bisa menahan rasa senangnya.
“Tunggu. BENARKAH? Aku turut senang mendengar kabar itu,” jawab Amanda dari ujung telepon.
“Trima kasih karna mendukungku selama ini, Manda,” lirih Azalea sembari tersenyum kecil meski tahu jika Amanda tidak bisa melihat senyumannya.
“Tidak perlu berterima kasih, Lea. Itu adalah hal yang sudah seharusnya dilakukan seorang teman.”
…..
Impian Azalea untuk menjadi penulis sukses kini telah tercapai. Kini karyanya telah di baca dan di kenal banyak orang.
Terhitung, sudah sekitar 6 tahun Azalea menjadi penulis. Sudah banyak pula karya Azalea yang di terbitkan dan di baca banyak orang. Bahkan, Azalea juga sudah berhasil membuat budaya membaca di Indonesia semakin meningkat, sedikit demi sedikit. Dan Azalea berjanji akan terus berusaha meningkatkan budaya membaca di Indonesia hingga akhir hayatnya.
Jatuh, bangun, jatuh, bangun, sudah Azalea rasakan selama 6 tahun belakangan ini. Tapi Azalea selalu berjanji untuk bangun lagi setiap kali ia jatuh.
Dan, Azalea tidak akan bisa bertahan sejauh ini tanpa dukungan dari ibunya dan sahabatnya, Amanda. Azalea juga yakin bahwa ayahnya juga selalu mendukung Azalea meski sekarang ayahnya sudah berada di surga.
Hey, I’m Jack. Your blog is a game-changer! The content is insightful, well-researched, and always relevant. Great job!