CERPEN

KARTI BUKAN KARTINI
Oleh : Ratih W

Karti bukanlah anak pandir, tiap hari rambutnya rapi tersisir, kerap terlihat berpita merah manis dikuncir,, sekolah ga pernah mangkir, dibully orang dia pilih minggir, sama teman gak pernah usil, sering berbagi rejeki jauh dari kata kikir.

Karti kecil sudah besar, dengan wajah oval kulit langsat, serta mata jeli berbinar. Rambutnya terurai hitam ikal mayang, dirinya pun kian matang. Nyaris setiap hari jalan kaki menyusuri jalan desa, kemudian berdesakan di dalam bus menuju kampusnya di kota.

Karti bukanlah Kartini, putri keraton darah priyayi. Karti hanya wong deso, gubugnya di bawah rindang pepohonan tepian Kalimalang. Mak Darmi ibunya penjual sayur yang tiap hari berkeliling dusun dengan gerobak tua, melewati jalan kampung hingga gang sempit sambil kencang bersuara.

“Sayuuuuuur, sayuran segar, mari Bu, Mbak, sayuuur, sayuuuur!”
“Sayur asam, sayur lodeh, sayur sop, bayam, kangkung, sayuuuuur!”

Pukul tiga pagi si Mak sudah berangkat ke Pasar induk, mengendarai onthel tua peninggalan mendiang suaminya.
Gurat tua serta kelelahan tampak jelas tergambar di wajah yang mulai keriput menua.

Karti bukti perjuangan Mak Darmi, delapan semester sudah ia tempuh walau dengan langkah tertatih. Berkali mengendap di ruang administrasi bertemu wajah masam Miss Nancy, perempuan yang hingga usia 55 tahun masih saja sendiri. Konon kabarnya Miss Nancy pernah patah hati. Trauma dan tak mau lagi dekat dengan laki-laki.

“Biasa ya, Karti?” kerap sapanya sinis menohak hati sambil mengeluarkan berkas perjanjian untuk membuat surat permohonan sebab telat membayar uang semesteran.
Karti hanya tersenyum, berlapang dada atas semua. Penting jalan kuliahku,” batinnya menguatkan hati.

Hari ini Karti yudisium setelah menjalani sidang, dibantai sederet pertanyaan dosen penguji. Jika dinyatakan lulus, akhir tahun ini Karti akan menjadi wisudawati.

“Maaaak!” teriakan Karti mengagetkan emaknya yang tengah bersandar di teras sambil mengipasi badannya dengan caping rombeng yang biasa ia kenakan saat berdagang.
“Apa, Nyai? Mengagetkan saja.”

Karti memeluk erat tubuh kurus emaknya dengan terisak.
“Maaaak, bulan depan Nyai wisuda, maafkan Nyai sudah bikin Mak repot selama ini. Terima kasih atas semua jasa Emak buat Karti,” lirih gadia itu sesegukan dipangkuan Mak Darmi.

“Mak doakan Nyai ya, biar cepat dapat kerjaan dan Mak ga usah jualan sayur lagi,” ucapnya masih bercucuran airmata.

Mak melepas pelukan Karti, menatap tajam wajah manis putri semata wayangnya itu. Perlahan tatapannya tampak sayu dan berkaca-kaca. Satu persatu jatuh di belah pipinya yang mulai kusam dengan fleks hitam dirajam terik matahari.

“Alhamdulillah, Gusti!” seraya kembali memeluk tubuh Karti mencium pipi dan dahinya berkali-kali. Semesta larung dalam keharuan, ibu dan anak itu erat bertangisan.

Sejenak lupa, berapa kali Mak Darmi mengetuk pintu Juragan Karsim dengan malu hati kerap menghinakan diri untuk meminjam uang demi kuliah Karti. Juragan empang itu tak segan-segan membungakan pinjamannya hingga 10% dari nominal yang ia pinjam.

Entah berapa kali juga si Mak memaksa agar langganannya membeli sayuran dengan harga murah agar sayurannya cepat terjual. Semua untuk Karti.

Mak Darmi sosok tegar yang terus berjuang agar anaknya sukses, lembar putih di kepalanya adalah saksi betapa getir kehidupan yang harus ia alami sepeninggal bapak Karti yang meninggal lantaran terpapar covid-19.

Dalam sujudnya malam itu, berselimut mukena lusuh yang tak lagi putih, disela isak tangisnya mengenang mendiang suaminya, lirih bergumam.

“Pak! Alhamdulillah anak kita sudah lulus, bulan depan Karti wisuda. Sudah kutunaikan kewajibanku, Pak,” lirihnya disela isak. Sehimpun doa terus terpanjat pada Yang Maha Segala. Karti, Karti, dan Karti, Mak lupa dengan doa untuknya sendiri.

Matahari sudah meninggi, Mak mengelap dahinya yang mulai berkeringat. Di bawah rimbun pohon campedak, depan Kantor Kecamatan Mak berteduh sejenak.

Banyak perempuan paruh baya wara-wiri dengan kebaya warna-warni dan slop tinggi, berjalan berjingkat lantaran kain panjangnya kesempitan. Tas slempang atau tas kecil yang ditenteng melengkapi tampilan, tanpa lupa mengenakan kacamata hitam besar agar tak silau kena terik. Mereka berkumpul depan kecamatan.

Cantik dan kemayu, Mak menatap mereka satu persatu. Mereka siap ikut memperingati perayaan R.A. Kartini. Mak kembali mengelap wajahnya dengan ujung kain penutup kepalanya.q

“Jeng, kapan si Radit wisuda?” seru ibu berkebaya hijau dengan konde besar.
“Oalah Bu, anak saya boro-boro wisuda, kerjaannya sekarang malah ga karu-karuan, nongkrong sana-sini sama kawan-kawannya SMA-nya dulu.” ucapnya seraya meluruskan bros di bajunya.

“Nah, terus anak gadismu si Rara sudah semester berapa, sudah mau lulus juga kan? Dia balik bertanya.
Ibu Muda dengan kebaya merah menyala, memalingkan muka.

“Sebentar lagi Rara lulus, Bu. Doakan ya, minggu depan Rara mau saya nikahkan.
“Loh, gimana Ibu ini? Belum lulus kok sudah mau dinikahkan saja, ” selorohnya sambil menepuk si kebaya merah.
Sudah kebelet momong cucu sampean ya?” tawanya berderai memperlihatkan dua gigi emas di graham kiri dan kanannya.

“Hmmmmm, anak remaja sekarang, Bu. Orang tua gak bisa meleng dikit, kecolongan deh.” tukasnya seraya mengeluarkan kaca untuk menebalkan gincu bibirnya.

“Sayuuuuuuuur! Sayuuuurnya, Bu! Sayuran hijau segar-segar, sayuuuur!
Mak beringsut bangun, kembali mendorong gerobak sambil tersenyum.

Saset : 22 April 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *