BELAJAR DARI PETANI CABE

BELAJAR DARI PETANI CABE
Oleh : Nenden Hernika

Kami sedang duduk-duduk di beranda waktu Mamang tetangga kampung lewat. Saya mengenalnya sebagai petani yang ulet dan rajin. Beliau membawa setengah karung cabe rawit. “Bade ngersakeun cabéna, Bu?” Katanya sambal berhenti di jalan depan rumah. Saya segera menghampiri. Meskipun stok cabé di dapur masih ada, tapi jika ada yang menawarkan cabe, saya pasti beli. Sambal adalah menu harian yang wajib tersaji di meja makan setiap hari, jadi wajar jika harus selalu ada cabe di dapur.
“Berapa harga cabe, Mang?
“Murah, Bu. Sepuluh ribu setengah kilo,” katanya
Wah, ko murah? Pikirku. Biasanya kalau beli di pasar 5000 itu hanya satu comot, dipakai dua kali bikin sambal juga langsung habis.
“Mamang punya cabe dari mana?” tanyaku
“Apan ngebon di lebak, Alhamdulillah bisa menutupi kebutuhan sehari-hari. Ini sudah tiga kali panén,” katanya lagi.
“Syukur kalau begitu, Mang. Saya minta setengah kilo, Mang.” Pintaku.
“Mangga,” Kata Mamang itu sambil kemudian mengeluarkan timbangan, lalu menimbang cabe. Ternyata meskipun besar-besar, saya melihat cabe itu terlihat masih muda.
“Mamang kenapa cabe muda sudah dipanen?”
“Kan supaya cepat dijual, Bu. Maklum banyak keperluan, apalagi sekarang gara-gara corona hidup serba susah. Kuli juga susah. Lagi pula kalau dibiarkan sampai tua, khawatir keburu kena hama, kan kebunnya jauh dari rumah, tidak bisa ditungguin tiap waktu,” katanya panjang lebar.
“Tapi kan kalau cabenya tua harganya mahal, Mang?”
“Ah, mahal di mana, Bu, sama saja tengkulak mah paling beda sedikit, makanya Mamang lebih memilih dipetik dari sekarang dan dijual langsung ke warga, itung-itung bisa sambil sodakoh. lagi pula Mamang ngebonnya ga banyak, cuma dua petak,” katanya sambal menyerahkan cabe hampir penuh satu keresek kecil.
“Mamang, kenapa ini banyak sekali?”
“Gak apa-apa, Bu. Itung-itung masihan, bayarnya sepuluh ribu saja,” Katanya. Masya Allah, saya ucapkan banyak terimakasih pada Mamang. Saya segera menyerahkan uang sepuluh ribu, karena Mamang itu keukeuh tidak mau menerima uang lebih. “Kan ibu mintanya juga setengah kilo,” Katanya. Setelah mengucapkan terimakasih, Mamang itu kemudian pamit, meneruskan menjual cabe.
Masya Allah, dari kejadian itu saya jadi berpikir, betapa harga di petani begitu jauh lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar. Petani yang berbulan-bulan menanam, merawat, memupuk, tapi tidak banyak yang dihasilkan. Namun begitu, mamang Petani masih berpikir untuk beramal, masih ingat untuk sodakoh. Sungguh pembelajaran yang sangat berharga. “Semoga keberkahan selalu menyertaimu, Mang, Aamiin.”

Bojongmangu, 09-04-2020
#Tantangan hari ke 12
#Tantangan 14 hari KPPBR

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *