MENCOBA HOROR
HENING (7)
Ratih W
Lingsir wengi sliramu Tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Jin setan kang tak utusi
Jin setan kang tak utusi
dadyo sebarang
Wojo lelayu sebet
Sayup terdengar manis Kidung Rumekso Ing Weungi, orang lebih suka menyebutnya dengan Lingsir Weungi. Timbul tenggelam larut hanyut bersama desau angin malam. Duh, siapa juga malam-malam begini mendengarkan lagu tersebut? Lirik melow melankolis memunculkan daya magis, menebar sedikit aroma mistis. Tiba-tiba saja lagu ini sempat viral sejak kemunculan film kuntilanak di layar lebar. Aah selalu saja masyarakat salah kaprah dengan penafsiran yang salah. Muncul anggapan, menyanyikan lagu itu di sembarang waktu? Hhhmmmm seram habis Boskuuu, makhluk halus si Kuntilanak legendaris, akan segera datang dan tersenyum manis. Betapa mudah mindset masyarakat digiring pada opini yang jauh keliru.
Jika ditelusuri, lagu Lingsir Weungi lahir pada jaman Wali Songo, muncul dari kreativitas tangan Sunan Kalijaga sebagai munajat doa. Pada jaman itu, para ibu meninakbobokan anak-anak mereka dengan lagu tersebut, dengan tujuan untuk menolak bala. Menjauhkan anak-anak mereka dari gangguan makhluk halus, dan sama sekali bukan bertujuan untuk mengundangnya. Konsep yang salah kan?
Meski tahu salah, ko tetap yaa, agak merinding juga mendengar lagu tersebut..hehe. Dinyanyikan dengan lembut, dalam tempo pelan dan lirih, sungguh menyayat hati. Tiba-tiba saja pikiranku teringat lagi pada ucapan Hening, si gadis berwajah putih pucat yang muncul di mimpiku sesaat tadi. Gadis itu ikut tinggal di rumahku dan menempati kamar di pojok. Kutengadahkan wajah memandang rembulan yang kian samar. Derik jengkrik bersahutan, disela desau angin yang mnyentuh pucuk-pucuk daun rambutan.
“Sumur ini dulu sangat berguna Pak Agus, tetangga kiri kanan ambil air ya di sini, kata Ki Haji Samud almarhum waktu itu.” Ingatanku sampai kala kami mulai persiapan untuk membangun rumah sembilan belas tahun lalu.
“Terlebih jika musim kemarau, sumur ini tidak pernah surut airnya tetap mengalir bening dan bersih. Tetapi sekarang orang-orang sudah pada pakai mesin air, yaa kita urug saja. Nanti, sebelum dibangun sampah apa saja masukin saja ke sini biar cepat penuh, kata Ki Haji sambil memasukan ranting-ranting dari pohon-pohon yang kami tebang. Sayang memang lahan tanah yang ku beli itu penuh dengan pohon-pohon besar dan menghasilkan. Namun apa daya, sebab lahan tidak begitu luas sehingga hampir semua area kugunakan untuk bangunan.
Oalah Gustiiii, apa iya Hening tinggal di sumur itu? Jika yang dia bilang tinggal di pojok rumahku sebelah kanan, maka itu tepat di atas dapurku sekarang yang dahulunya ada sumur tua.
Langkahku gontai, mengayun langkah dari teras hingga dapur terasa jauh. Seraya menjatuhkan tubuh di kursi meja makan, kulayangkan pandang pada semua penghuni: kompor, wajan penggorengan hingga gayung yang menempel di dinding. Aliran darahku terasa lebih hangat dan cepat dari biasanya. Tenggorokan yang tiba-tiba kering, kusejukan dengan segelas tirta bening. Kujatuhkan pandangku pada gelas yang kugenggam erat, sekelebat tampaklah raut wajah putih pucat. Maafkan aku, Ning!
Praaaaaaaaaaang……”
“Miiiiiiiiih, kenapaaaaaaa?
(selesai)
#Tantangan Ke-26 KPPBR
#Bani Adam 18 C2: 13.08.2020