ISTANA KARDUS Oleh Ratih W.

Mencoba Cerber “ BETAH DI SETU”
ISTANA KARDUS (3)
Ratih W

Bruuuuuuug. Suara barang jatuh terdengar begitu jelas tetapi entah darimana sumbernya. Biasanya kucing liar yang biasa minta makan , naik lewat tembok di samping, namun tiada tampak wujudnya atau meong bunyinya. Melihat sekeliling hanya pot-pot bunga gantung milikku. Daun kembang kertas tampak bergerak tertiup angin. Angkrek wijaya kusuma dengan putiknya yang mulai kembung besar siap untuk mekar. Aroma melati makin kuat. Kupejamkan mata terpaku di balik pintu sambil menghirup aroma sedap yang sangat aku suka. Serasa ada tubuh yang begitu halus menyentuh ragaku. Aku masuk dia pamit keluar. Selamat bermain Mbaaaaak, ucapku. Baik-baik yaaa, jangan pulang malam-malam atau tidak usah pulang sekalian deh. Heheh aku senyum sendiri.

Sepertinya semua tampak lelah, aku bengong sendiri sambil membolak-balik buku Balada Si Roy karya Gola Gong. Lalu semua huruf tiba-tiba tampak buram, ingatanku kembali lagi untuk melanjutkan cerita lama yang tadi sempat terjeda. .
Masa-masa awal pernikahan adalah masa yang sulit. Tak hanya menyatukan hati, namun juga mencoba beradaptasi dengan segala situasi. Lima tahun tinggal di Ciketing Udik, banyak kenal dengan pekerja-pekerja TPA Bulog. Sambil selonjor menikmati angin sore menunggu suami pulang kerja. Aku memerhatikan mereka sesekali menyela penuh canda tawa, Sepulang kerja mereka merapikan serta memilah barang yang mereka dapat. Sambil bercerita bahagia karena hari itu mereka mendapat rezeki besar. Sebuah truk container menumpahkan daging dan ayam potong, buah-buah yang masih segar, atau coklat-coklat yang masih dalam kemasan cantik. Aku hanya tersenyum mengiakan, dan tak sedikitpun terpikir dalam benakku untuk berkomentar, jika barang-barang itu sudah dilarang untuk dikonsumsi karena sudah kadaluarsa. Merusak kecerian mereka sama halnya dengan menikam nadi sendiri.
Mereka datang dari berbagai kota. Beberapa di antaranya tinggal dekat lokasi pembuangan, membuat gubuk-gubuk dari kardus dan kayu-kayu triplek bekas. Kain bekas-bekas spanduk atau poster mereka gunakan sebagai atap. Pintu penutup ruang kadang hanya berupa selembar kain panjang yang diikat tali rapia kiri kanannya. Hmmmmm… tak perlu berpikir semen atau pasir untuk pondasi, tak butuh keramik atau marmer mengkilap untuk ubin. Gubuk hanya digunakan mereka untuk membuang penat sejenak. Terkadang mereka lelap meski hanya beralas bumi beratap langit.
Andai satu waktu kita lewat di TPA, pada jam makan siang. Para pekerja asyik menikmati makanan yang banyak dijajakan di sepanjang lokasi. Bau busuk menyengat seolah menjadi aroma pelengkap nikmat. Tampaklah di sekeliling wadah makan hinggap lalat-lalat hijau. Satu tangan menyuapkan makanan satu tangan mengipas-ngipas agar lalat menjauh dan tak tertelan. Begitu adil Sang Pencipta menempatkan semua dan memberi nikmat yang berbeda untuk makhluknya.
Rembulan dalam remang perlahan pergi, hawa dingin menelusup hingga tulang rusuk. Waktu telah berada di kisaran separuh malam. Mataku sulit sekali untuk terpejam, dalam sadarku kakiku seolah tersentuh sehelai kain atau sengaja dia melakukan itu agar aku tahu dia telah pulang tanpa aroma sengat melati seperti biasa.
“Jalan-jalan sampai mana Teh, ko udah balik?
Demikian caraku untuk menghalau rasa takut, berusaha kepo dengan mengajaknya berkomunikasi. Hehe, tak terpikir dalam kepalaku andai dia menjawab dan menampakan diri. Kabuuuuur …….! (Bersambung)

#Tantangan ke-11 KPPBR
#Bani Adam 18 C2 : 27.08.2020

4 thoughts on “ISTANA KARDUS Oleh Ratih W.

Leave a Reply to กรองหน้ากากอนามัย Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *