Renungan Sang Multiple Intellegence di Era Corona

Renungan Sang Multiple Intellegence di Era Corona
Iim Kamilah

Demi waktu…tiga pekan berlalu.
Kalian dan kami masih terhalang tabir virus pandemi.
Kita terus menelusuri ilmu di udara.
Tak terasa … sebentar lagi saatnya ujian.
Imajinasiku melayang.
Esok saatnya kita bertemu berbagi hasil belajar.
Bila belajarnya on-line, ujiannya on-line, akankah pembagian hasil belajarnya on-line pula?.

Hatiku berkelana ke masa silam saat corona belum datang. Teringat kisah pembagian hasil belajar. Akankah nostalgia ini terulang di tengah pandemi ini? Saat itu sekerumunan orang tua siswa heboh bertanya padaku. “Anak saya ranking berapa? …. Anak saya ranking berapa?,” Ya Tuhan, hari gini masih mengucapkan kalimat itu. Tapi nyatanya itulah dominasi kalimat yang masih terngiang menyelimuti hari ini yang begitu indahnya meski masih dihiasi dengan segumpal beban mental, dikatakan indah karena pekerjaan berat sudah kelar dan beberapa rapat berat sudah terlewati, pertama rapat kecil diantara seluruh walikelas kelas 7 dan 8 yang dipimpin PKS Kurikulum kemudian dilanjutkan dengan rapat besar yang melibatkan seluruh warga sekolah mulai dari kepala sekolah, kasubag, wakil kepala sekolah, para PKS, semua guru yang ada, staff TU, semuanya lengkap hadir sebagai personal yang bertanggungjawab supaya hasil keputusan rapat tersebut tidak ada yang salah serta adil adanya dengan mempertimbangkan dari berbagai sudut, menegakkan aturan juga kebijakan dengan tingkat toleransi yang tetap mengutamakan mutu pendidikan dan dengan tujuan kebaikan yang sebenarnya untuk sang siswa sendiri yang kita berikan keputusan tersebut.

Itulah salah satu sisi indahnya hingga dada bisa bernafas lega tapi tidak memungkiri hati ini begitu masih diliputi kegundahan sehingga tidur pun serasa sulit nyenyak, itu dikarenakan karena hasil rapatnya ternyata ada dua siswaku yang tidak berhasil diputuskan untuk naik kelas. Aku merasa sangat sedih luar biasa karena jauh di lubuk hati terasa sekali keputusan untuk membuat seorang siswa tidak naik itu sungguh berat tetapi dengan tekad bahwa ini adalah suatu upaya untuk membuat siswa dapat lebih baik dari sebelumnya dan membuat siswa itu menyadari kesalahnnya dalam bersikap belajar. Semoga dengan keputusan ini siswa-siswa tersebut dapat mengubah sikapnya yang tidak semestinya sehingga dapat menjadi pribadi yang berkualitas sebagai remaja dan kelak sebagai sumber daya manusia yang mencapai target yang diharapkan oleh agama juga bangsa.

Lebih baik mundur satu tahun demi kebaikan siswa tersebut selamanya di masa depan daripada maju terus tapi sang siswa tidak merubah diri. Maksud dari keputusan ini sesuai dengan pengertian pendidikan itu sendiri yang didukung para ahli, sebagai berikut:
• Frederick J. Mc Donald ,”Pendidikan ialah suatu proses yang arah tujuannya adalah merubah tabiat manusia atau peserta didik.”
• M.J. Langeveld, “Pendidikan merupakan upaya dalam membimbing manusia yang belum dewasa kearah kedewasaan. Pendidikan adalah suatu usaha dalam menolong anak untuk melakukan tugas-tugas hidupnya, agar mandiri dan bertanggung jawab secara susila. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha untuk mencapai penentuan diri dan tanggung jawab.”
• Martinus Jan Langeveld, “ Pendidikan adalah upaya menolong anak untuk dapat melakukan tugas hidupnya secara mandiri supaya dapat bertanggung jawab secara susila. Pendidikan merupakan usaha manusia dewasa dalam membimbing manusia yang belum dewasa menuju kedewasaan.”
Yang tentunya semua ini adalah dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan luhur pendidikan nasional kita, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawa.”(Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3).

Begitulah kisah ini berlanjut, Aku kuatkan hari itu untuk membagikan raport pada para orang tua siswa yang sudah antri mengambil raport anaknya. Oya, beberapa hari sebelumnya telah dipanggil dulu para orang tua siswa yang kondisi anaknya kritis dan tidak mempan dengan gemblengan BK yang sudah berusaha sedemikian rupa menangani. Kami pihak walikelas, BK, dan orang tua sudah berdiskusi untuk mencari langkah apa yang terbaik untuk anak demi kemajuan dan kebaikan anak kami di tahun ajaran selanjutnya. Tampaklah beberapa wajah duka orang tua seduka hati kami yang belum sukses mendidik dengan sempurna. Tetapi bagaimana pun juga semua masalah harus dihadapi dan kami percaya bahwa apapun yang terjadi adalah cara dari Tuhan untuk pendewasaan semua pihak dan akan membuat semua indah pada waktunya untuk menggapai cita. Langkah ini perlu diambil untuk memberikan kekuatan dan kesiapan mental guru dan orang tua pada saat pembagian raport nanti sehingga berdampak positif pada siswa.

Satu persatu orang tua siswa maju untuk menanyakan berbagai hal sebagaimana ritual umumnya pembagian raport. Dengan berbagai cara penyampaian sudah kuusahakan sesuai dengan berbagai karakter orang tua yang didukung juga oleh tingkat pendidikan dan wawasan berfiki mereka yang heterogen. Mulai dari orang tua yang menggambarkan masyarakat berpendidikan sampai yang seperti belum menginjak bangku sekolah, ada yang berpembawaan halus sampai yang berpembawaan sebaliknya dan dominan menggurui. Bahkan ada yang tidak berkenan antri dan berani menyerobot begitu saja sehingga kesabaran tentunya butuh dikedepankan untuk mengatasi semua ini.

Setelah kurenungkan tentang komunikasi orang tua denganku saat berhadapan, rasanya tadi aku seperti kaset yang terus diputar ulang karena meskipun sebelumnya aku sudah memberikan pengertian menyeluruh sebelum pembagian raport dan sudah mengatakan bahwa semua siswa itu pada dasarnya berpotensi untuk ranking 1 dan merupakan bibit unggul karunia Tuhan yang terlahir sebagai pemenang dari ratusan sperma yang gugur namun dia lah yang berhasil muncul ke dunia ini. Selain itu, kujelaskan juga bahwa tugas kitalah sebagai orang tua dan guru untuk benar-benarnya membuatnya rangking satu buat dirinya sendiri sehingga menjadi manusia unggul sesuai cita-cita dan harapannya juga harapan orang tuanya yang menginginkan anaknya berhasil dan menang dalam persaingan. Lebih jauh lagi kusampaikan bahwa tidaklah penting membandingkan kekurangan anak kita dengan kelebihan orang lain, betapa sedihnya nanti anak yang ketika diranking mendapat ranking dalam rentang terakhir. Mungkin anak semakin down karena tidak semua orang tua memahami semua elemen secara kompleks dipadukan sebagai hal-hal apa saja yang menyebabkan keberhasilan belajar anaknya. Yang terpenting bukanlah membandingkan anak kita dengan orang lain tetapi langkah yang seharusnya adalah membandingkan anak kita dengan anak kita sendiri pada masa sekarang dan masa sebelumnya serta sikap sekarang untuk kemajuan perbaikan anak tersebut di masa selanjutnya. Itulah kandungan sejati dari elemen perbandingan atau ranking individual untuk keunggulan anak yang hakiki sehingga dapat membentuk kemampuan anak yang meliputi point empat pilar pendidikan sebagaimana yang dikemukakan Unesco, yakni:

A. Learning to know (belajar mengetahui)
Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan.

B. Learning to be (belajar melakukan sesuatu)
Pendidikan juga merupakan proses belajar untuk bisa melakukan sesuatu (learning to do). Proses belajar menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif, peningkatan kompetensi, serta pemilihan dan penerimaan secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan, perasaan, serta kemauan untuk berbuat atau merespon suatu stimulus. Pendidikan membekali manusia tidak sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat atau mengerjakan sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan.

C. Learning to be (belajar menjadi sesuatu)
Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be). Hali ini erat sekali kaitannya dengan bakat, minat, perkembangan fisik, kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya.

D. Learning to live together (belajar hidup bersama)
Pemahaman tentang peran diri dan orang lain dalam kelompok belajar merupakan bekal dalam bersosialisasi di masyarakat (learning to live together).

Uraian sejenis itulah yang kusosialisasikan sesuai kemampuan terbaik yang kumiliki saat itu pada para orang tua dalam biantara pagi ini, namun tidak semudah itu memberi pengertian. Apa dinyana ketika datang giliran menghadap satu persatu tetap saja para orang tua greget kembali menanyakan anaknya ranking berapa bahkan ada yang mengira jangan-jangan itu adalah dalih guru karena malas ribet mebuat ranking saja. Hehehe. Tenang saja bu pak kalau dalam hal ranking meraking kami sungguh tidak ada kemalasan karena sudah memiliki sistem canggih yang memuat semua nilai seluruh siswa dengan satu klik saja maka seluruh ranking terurai rinci dalam sekejap. Kegregetan orang tua ini dapat kupahami karena kadang demi anak memang semua masih bisa menjadi jadul kembali dan sulit menerima hal yang update, kadang kecintaan membuat hilang daya objectivitas. Aku tergelitik manis hingga senyum tak henti tersungging di bibir menusuk ke hati.

Para orang tua belum sepenuhnya menyadari bahwa setiap anak itu unik dan belum yakin bahwa anaknyalah sebagai ranking satu yang terbaik untuk orang tuanya sendiri dan kelak untuk masyarakat pengguna. Mungkin para orang tua belum sepenuhnya memahami bahwa era sekarang adalah era kooperatif bukan era kompetitif terutama dalam proses belajar. Wahai para orang tua yang mulia, para guru juga adalah para orang tua juga yang pasti menginginkan anaknya yang terbaik. Marilah kita semua berusaha untuk berproses indah melalui berbagai tahapan untuk yang terbaik untuk anak kita dengan segala upaya dan kemampuan terbaik yang kita miliki dan tetap berusaha bijak mengatasi segala problema pendidikan yang tidak mudah tapi tetap harus dipecahkan bersama dan tetap optimis serta mantap dalam keterbatasan yang ada. Tidak sepenuhnya orang tua salah karena orang tua memiliki ambisi terhadap generasi dan menjadi tugas para pendidikan untuk mewujudkan kesuksesan style multiple intelegence ini dan tak bosan-bosannya mengimplementasikannya secara kompak antara orang tua, siswa, guru, dan para pendukung pendidikan.
Untuk mencapai hal ini guru sendiri sebagai ujung tombak pendidikan tentunya perlu terus belajar dan kian memperhatikan prinsip-prinsip positif (Hamzah:172-173) yang menjelaskan bahwa prinsip positif diantaranya meliputi prinsip ilmiah, kooperatif, konstruktif, realistis, progresif, inovatif. Untuk itu guru perlu sekali mulai dengan emosi positif (Susanto:117) yang mengatakan bahwa kondisi jiwa adalah doa berjalan, mengupayakan sesuatu pengimplementasian program dan tujuan baik diawali dengan doa. Manusia yang dicintai Tuhan ada karena lebih besar dan berharga dibanding emosi, manusia adalah pemeran utama sedang rasa marah, sedih, galau yang datang adalah sebagai figuran. Selain itu, guru perlu sekali mengupayakan kesuksesan yang mendasarkan diri pada multiple intelegences ini dengan (Hernacky:8) bahwa belajar adalah kegiatan seumur hidup yang dapat dilakukan dengan menyenangkan dan berhasil. Jadi kita semua optimis bahwa pendidikan akan berhasil dan disesuaikan dengan karakter siswa serta mengoptimalkan bidang kecerdasaaanya yang dominan sehingga belajar menjadi menyenangkan dan bukan suatu beban.
Tentang perubahan sikap siswa yang merupakan PR besar guru menuju keunggulan dan kualitas insan kamil, Yeti (2016:41-42) memberikan pengertian bahwa,”Perubahan sikap siswa sebagai indikator keberhasilan…Pendidikan intinya adalah perubahan sikap siswa. Mendidik merupakan motivate, to learn, to follow, to obey the norm.” Apapun bakat dan kemampuan siswa semuanya pasti perlu didasari oleh prinsip tadi sehingga dapat menjadikannya yang terbaik pada bidangnya. Apapun upaya untuk tujuan pendidikan tidak akan berhasil tanpa bantuan dan keyakinan pada usaha utama yaitu doa. Fadillah (48-62) mengemukakan tentang syarat agar doa menembus langit mencakup memperbanyak ibadah, berdoa dengan ikhlas dan hanya berharap ridha Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, berdoa dengan hati yang khusyu dan tawadhu. Mensiasati keberhasilan anak tanpa terlepas dari fokus untuk meraih keridhaan Tuhan. Tuhan telah menciptakan setiap siswa dengan penuh kepercayaan, tugas guru dan orang tua untuk memolesnya dengan goresan yang indah dengan cara yang tepat.
Wahai diri sang guru, wahai para orang tua, wahai anakku semua, Amir (2006:148) menjabarkan bahwa,”Jika kamu setiap saat merenung selalu muncul rasa kurang percaya diri karena selalu dibayangi hal-hal negatif, mulai saat ini kamu jangan bersedih karena Allah akan menutupi kelemahanmu dan akan mengangkat kelebihanmu. Allah bersama orang-orang yang yakin akan hidup di masa depannya.” Kita semua menginginkan anak bahagia dan berhasil di bidang yang dikuasainya sehingga orang tua tidak semestinya memaksakan untuk 100 di angka IPA dan Matematika di raport, adalah hal yang menyedihkan bila masih ada orang tua yang memaksakan anaknya untuk selalu menjadi dokter sehingga kuperhatikan saat testing ke jurusan kedokteran maka permukaan bumi serasa mau turun karena seluruh siswa sedang bergulat di dalam memenuhi seluruh area tempat testing hingga penuh sesak demi memenuhi keinginan orang tua yang masih picik dengan mengatakan pada anaknya bahwa yang sukses hanyalah bila anaknya menjadi dokter dan profesi lainnya hanya sesuatu saja tanpa memikirkan bahwa bagaimana bangsa ini bisa terbangun seandainya semua menjadi dokter, lalu bagaimana komponen penyangga negara bisa terlestarikan. Mungkin alangkah lebih baiknya bila para orang tua mengatakan sebagaimana Al-Qarni dalam kitab La Tahzan (Erlim:149), “Bila kamu ingin selalu bahagia, tuntutlah ilmu. Galilah pengetahuan, dan raihlah berbagai manfaat, niscaya semua kesedihan, kepedihan, dan kecemasan hari ini dan masa depan akan sirna.”
Kembali digarisbawahi penyampaian bijak pada orang tua tentang prinsip Multiple Intelligence ini demi kualitas kemajuan bangsa umumnya dan keunggulan siswa yaitu anaknya khususnya sebagimana Wikipedia menjabarkan tentang prinsip yang diboomingkan oleh Howard Gardner,” Gardner choose eight abilities that he held to meet these criteria:musical-rhythmic, visual-spatial, verbal-linguistic, logical-mathematical, bodily-kinesthetic, interpersonal, intrapersonal, and naturalistic. He later suggested that existential and moral intelligence may also be worthy of inclusion.” Selain itu Howard melanjutkan penjabarannya ,”Although the distinction between intelligences has been set out in great detail, Gardner opposes the idea of labeling learners to a specific intelligence. Gardner maintains that his theory of multiple intelligences should “empower learners”, not restrict them to one modality of learning.” Dengan demikian menurut Gardner, ”An intelligence is a biopsychological potential to process information that can be activated in a cultural setting to solve problems or create products that are of value in a culture.”
Jelas sudah semua ini mengacu untuk mendukung bahwa setiap anak itu unik dan menarik dan pendidik baik pendidik di rumah atau sekolah bertanggungjawab untuk menemukan dan mengklimakskan titik keunggulan setiap anak yang dimilikinya dengan penuh daya juang tinggi. Bila masih ada fenomena yang selalu menyalahkan guru sebagai penyebab kegagalan proses pembelajaran serta kegagalan mencetak produk anak, tentunya itu kurang bijaksana meskipun memang semua mengetahui (Mamat:25) bahwa, “ Guru adalah kunci sukses pendidikan. Di tangan para gurulah mereka anak didik akan menjadi pemimpin masa depan mengganti pemimpin pendahulunya. Maka tidak salah tokoh pendidikan internasional dari negara Vietnam yaitu Bapak Kho Chin Mien dengan mengatakan bahwa No teacher, No Education (tidak ada guru, tidak ada pendidikan). Kiranya hal ini perlu dicerna dengan penuh kedewasaan dan penuh pengertian demi kesuksesan anak jadinya nanti bagaimana mengingat guru bukanlah satu-satunya elemen dalam pendidikan.
Demikianlah kisah ini ditutup dengan harapan semua siswa yang kami cintai akan selalu unggul di setiap harinya dan menjadikan hari-harinya sangat berguna dan penuh makna dan menjadikan hari ini akan selalu lebih baik dari sebelumnya dan menjadikan hari kemarin adalah suatu pelajaran. Bagi para siswa yang memiliki ketidakberuntungan hari ini untuk naik kelas senantiasa optimis untuk berbesar hati menerima semua ini dengan sikap positif yang ditumbuhkan dengan bantuan dukungan orang tua yang semakin dapat berkolaborasi bersama para guru mencetak anak bangsa yang tercinta.

Daftar Pustaka

Hernacky, Mike. 2000. Quantum Learning. Bandung: Kaifa.
Ramly, Amir Tengku dan Erlin Trisyuliantini, 2006. Pumping Student, Memompa Prestasi Siswa Menjadi Bintang. Jakarta: Kawan Pustaka.

Sulfiati, Yeti. 2016. Menjadi Pendidik Insan Kamil. Jakarta: Pustaka An-Nahl.
Susanto, Dedy. 2013. Pemulihan Jiwa 3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Uno, Hamzah. 2014. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.

Ulfa, Fadilla. 2015. Doa Menembus Langit. Solo: Tinta Medina.

#Iim Kamilah
#Tantangan menulis KPPBR jilid 11

2 thoughts on “Renungan Sang Multiple Intellegence di Era Corona

Leave a Reply to Mag-sign up upang makakuha ng 100 USDT Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *