OPINI TENTANG SUNGAI Oleh Gorby

Jadi ingat bacaan di media Tempo dan beberapa buku tentang beberapa hal kenapa Bantaran Kali/sungai jadi Favorit masyarakat

Pengamat tata kota Yayat Supriatna mengatakan bantaran kali lebih favorit digunakan untuk membangun permukiman kumuh dibanding bantaran rel. Sebab, lokasi tersebut dianggap lebih strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar.

“Mereka memanfaatkan kali sebagai tempat mandi, cuci, kakus,”.

kepemilikan kali yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah dianggap menyebabkan lemahnya pengawasan. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh warga untuk membangun rumah di bantaran kali.

“Daerah cenderung abai jika ada permukiman di kali milik pusat. Pun sebaliknya.

Akhirnya, terjadi pembiaran,” ujar pengajar teknik planologi Universitas Trisakti tersebut.

Dia menyarankan, lebih baik perawatan kali diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga mudah dikontrol.

Karena adanya dua faktor ini, Yayat menyimpulkan, tak heran jika hampir semua bantaran kali di Ibu Kota sudah “dikuasai” warga.

Upaya normalisasi kerap menemui kendala lantaran warga yang tinggal di bantaran kali sudah terlalu banyak.

Itu jika ditilik dari pakar Planologi
Lalu bagaimana dalam aspek Kerugian ekonomi?

Kerugian ekonomi akibat banjir menurut peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mencapai Rp10 triliun (IDX, 3 Januari 2020).

Nilai kerugian itu bisa terus bertambah di masa depan.

Coba apa kata pihak yg lebih bisa menakar kerugian ekonomi yg di akibatkan selain Banjir dan kerusakan DAS ?

Dalam kajian lain, studi dari Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan 2,4% dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) atau sekitar US$ 6,3 miliar (sekitar Rp 86,84 triliun) tiap tahun karena akses air, sanitasi, dan higiene yang buruk.

Selain itu, Bank Dunia juga menambahkan setiap tambahan konsentrasi pencemaran Biological Oxygen Demand (BOD) sebesar 1 mg/liter pada sungai, akan meningkatkan biaya produksi air minum sekitar Rp 9,17 per meter kubik.

Waduh sudah ke arah DAS rupanya?
Nanti dulu lah

Ada suatu hal yg lebih menarik dari seorang antropolog luar negeri yg pernah bermukim di suatu daerah bantaran kali/sungai begini kurang lebih nya kata belio

“Mereka adalah orang-orang biasa, bilamana sehari-harinya dihadapkan pada kesulitan hidup yang luar biasa dan berbagai dilema. Dari kondisi itu, mereka sering menemukan cara-cara kreatif dalam upaya memecahkan masalah yang mereka miliki.”

“Dia menetap di sana lebih dari setahun, di sebuah rumah yang terbuat dari papan dan asbes. Selama itu, ia mencoba menyelami kehidupan masyarakat di sana hingga ia pun mulai terbiasa dengan banjir yang sering datang di perkampungan itu.

“Untuk mengantisipasi dan mengurangi korban banjir, ada seseorang di perkampungan itu bertugas memantau informasi terkait ketinggian air di pintu air Bantaran Kali melalui walkie talkie.”

“Dengan begitu, masyarakat lainnya dapat bersiap jika banjir datang. Walkie talkie tersebut mereka beli dengan uang pribadi. Harganya yang tidak murah membuat orang yang memilikinya menyandang status tertinggi di perkampungan kumuh itu.”

“Pemerintah tak mau lagi memfasilitasi mereka agar masyarakat di sana tak lagi betah bermukim di kawasan tersebut.”

“Selain mengetahui cara masyarakat di sana dalam menghadapi banjir, pergaulan belio sehari-hari bersama masyarakat, membuat ia mengetahui beberapa peristiwa lain. Salah satunya, masyarakat di sana menganggap rumah sakit sebagai tempat yang berbahaya. Mereka lebih mengandalkan ramuan yang dibuat oleh seseorang, salah satu warga Bantaran Kali dibanding obat dari dokter.”

“Pemikiran itu tak serta-merta muncul. Perlakuan kurang baik dan diremehkan yang pernah mereka dapatkan dari petugas rumah sakit membuat kepercayaan diri mereka untuk berobat di sana sirna.”

“mereka dengan gamblang menceritakan pengalaman pahit itu ke belio.”

“Mereka juga melarang belio berobat ke rumah sakit. Mereka takut ia akan mendapatkan perlakuan serupa jika petugas medis mengetahui bahwa ia tinggal di Bantaran Kali.”

“Ya, saat melakukan penelitian, belio sempat jatuh sakit. Setelah beberapa kali dipaksa meminum ramuan Yanti dan tidak berefek apa pun, ia akhirnya berangkat ke rumah sakit bersama tukang ojek langganannya, dengan satu catatan; memalsukan alamat rumahnya. Untungnya, ia seorang bule sehingga apa yang pernah dialami masyarakat Bantaran Kali tak terjadi padanya. Ia pun diberi obat oleh dokter, kemudian kembali ke rumahnya.”

“Belio mengatakan bahwa tidak semua penghuni kampung kumuh berbakat menjadi pengusaha, tidak semua mereka punya perilaku buruk yang menyebabkan mereka miskin, dan tidak semua mereka punya jiwa luhur saat ada musibah. Mereka kerap kali dianggap sebagai perusak kehidupan. Akan tetapi, hal tersebut hanyalah sebatas omong kosong belaka.”

Riset belio (antropolog Belanda) sudah dijadikan buku terbitan marjin kiri.
Saya kira sangat relevan untuk dibaca oleh para pemangku kebijakan hingga selevel Profesor juga aktivis lingkungan hidup yg berfokus kepada bantaran kali/sungai.

Kembali ke topik mengapa banyak pemukiman di bantaran kali/sungai?

Ini sumber agak unik dari bacaan anak-anak Majalah Bobo
Begini kurang lebih nya lagi.

“Bagi kehidupan, air menjadi salah satu aspek penting untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti minum, memasak, mandi, hingga mencuci.

Nah, pada masyarakat Indonesia, Kali/sungai sudah menjadi salah satu sumber kehidupan manusia, karena berlimpahnya air dan berbagai sumber daya lain.

Melalui kali/sungai masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran bisa dengan mudah mendapatkan sumber air.

Selain itu, ada berbagai sumber makanan yang bisa didapatkan dari kali/sungai seperti ikan dan kerang.

Di sekitar kawasan lembah sungai/kali juga punya tingkat kesuburan tanah yang tinggi dan juga sangat beragam, nih, teman-teman.

Bagi penduduk di sekitar bantaran sungai/kali. hal ini bisa membantu mereka dalam melakukan cocok tanam, karena air penting untuk sistem pengairan atau irigasi sawah.

Akibatnya, banyak petani yang tinggal di sekitar bantaran sungai/kali agar bisa dengan mudah melakukan irigasi pada sawahnya.

Hal ini kemudian menjadi sebuah budaya bagi masyarakat Indonesia, yang merupakan kawasan maritim.

Selain itu, tinggal di bantaran sungai/kali kemudian juga menjadi berkaitan dengan kebudayaan agraris atau bertani pada masyarakat Indonesia.

Berangkat dari majalah bobo berlanjut ke ranah lebih ilmiah lagi.

Bagaimana hubungan Hubungan Permasalahan Sungai dengan Masyarakat?

Berbagai jenis pencemaran sungai dilakukan oleh manusia melalui sumber daya alam yang tidak diikuti dengan pengelolaan lingkungan yang baik.

Pemanfaatan tersebut dapat digunakan melalui penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari, MCK (Mandi Cuci Kakus), industri kecil hingga besar maupun penggunaan lainnya.

Bila ditinjau penyebab dari kelompok masyarakat, pencemaran yang dilakukan seperti pembuangan limbah MCK, limbah cair, dan sampah.

Menurut Karliansyah MR, Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan KLHK dalam media Antara, menyebutkan bahwa limbah domestik yang masuk ke badan sungai dewasa ini sebesar 60-70%.

Salah satu contohnya adalah bantahan sungai yang digunakan sebagai daerah pemukiman.

Sisa 10 ton sampah per hari dibuang ke sungai dan belum termasuk limbah domestik atau industri yang bisa mencapai 33 ton per hari.

Selain itu menurut data sekretariat STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), hingga 2015, sebanyak 34 juta jiwa masih melakukan BABS (Buang Air Besar Sembarangan).

Dalam hal ini dapat disetujui bahwa masih banyak penduduk Indonesia, khususnya berpemukiman di bantaran sungai yang memiliki kesadaran rendah dalam menjaga kebersihan sungai. Hal ini mengingat populasi sebagai subyek dalam pembuangan domestik yang padat.

Adakah solusi dari semua pembahasan ini yg ngepas sesuai kapasitas dari wilayah daerah wabil khusus kabupaten Bekasi?

Semoga tercerahkan dan tidak hanya terjebak pada sekedar wacana dan konsep yg mengalir hingga hilir saja dan menjadi lahan Bancakan juga berebut panggung politik.

Gorby saputra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *