The Fifty in Corona

The Fifty in Corona
(Biasa Itu Luar Biasa)

_Selagi masih ada waktu_
_Menenun kain kafan_
_Merenda jalan ke syurga_

Namaku Iim Kamilah. Sering orang mencandaiku sebagai manusia yang memiliki nama terpanjang di dunia. “IIM” sebelas meter (II M). Di tanggal 19 Maret 2020, di saat bergulirnya keharusan _stay at home_ ini, tepat umurku menginjak 50 tahun. Banyak orang bilang itu angka keemasan. Entahlah, tapi yang jelas usia 50  merupakan titik rentan dipanggil yang kuasa. Harus segera berkemas untuk pulang ke kampung halaman sejati.

Setengah abad telah berlalu… Aku merenung! Ternyata begitu lamanya aku sudah hidup di dunia ini. Cukup sudah semuanya. Tinggal fokus pada maut yang kapan saja bisa datang menjemput. Apalagi ini musim corona. Tetanggaku sudah ada yang meninggal padahal baru PDP. Setelah itu tetangga berikutnya yang kemarin baru dievakuasi, barusan terdengar kabarnya sudah innalillahi. Apalagi aku yang sudah tua ini. Dalam musim corona ini, aku hanya bisa berikhtiar taat pada guruku, pemerintah, dan pasrah dalam larutan doa. Menyerahkan segalanya di atas sajadah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Aku berkaca. 50 tahun itu bagiku jadi suka cepat cape, tiada hari tanpa keluhan ini itu penyakit orang tua, tubuh jadi super gendut. Baju-baju dulu jadi tidak muat. Bila ada yang tahu bagaimana kecilnya aku dulu, kemudian mereka baru bertemu aku lagi sekarang…pasti mereka menjerit. Kaget banget dengan transpormasiku yang kelebihan BB 20 kg. Sejak aku mulai disuplai obat rutin oleh dokter, rutin pula aku naik 2 kg setiap kontrol per-bulan. Jadilah aku seperti balon begini kini. Kakakku bilang, aku seperti selimut berjalan. Hadeuuuuhhh!!!!  Sabar, Im!

19 Maret 2020, bukan karena aturan tidak boleh keluar rumah dan social distancing sehingga aku dan fans tidak bisa pergi ke restoran untuk makan-makan merayakan hari jadi tapi memang karena perintah Guruku jelas sekali. Aturan yang sudah sangat lama digulirkan dengan tegas  untuk tidak boleh mengucapkan dan merayakan ultah. Jadi bagiku tidak masalah menginjak hari keemasanku di saat semua serentak harus mengisolasi sendiri. Apa bedanya dengan masa bebas seperti hari-hari biasa. Jadi tak masalah. Tidak ada hari istimewa. Semua hari itu ternyata betul, sebuah keistimewaan. Jadi harus betul-betul disyukuri.

Aku sendiri merasa diistimewakan oleh Tuhan. Titik emasku diberi kado emas olehNya, Mrs “Corona” and fam hadiahnya. Waw keren banget! Setelah lelah menjalani hidup penuh suka duka selama setengah abad, Tuhan berikan aku mutiara hikmah. Menyadarkanku bahwa selama ini segala sesuatu dalam kehidupan yang kuanggap biasa ternyata itu adalah hal luar biasa yang Tuhan hadiahkan sehari-hari dengan sepenuh cinta kasihNya. Semua yang ada di masa lalu baru terasa luar biasa ketika bencana datang. Baik bencana alam maupun non alam.

Di hari biasa, bisa tidur nyaman. Rumah tidak bau. Ketika bencana banjir datang. Hidup jadi aneh. Bau, harus ngungsi, harus cape bersihkan lumpur, makan disuplai orang, ke kamar mandi saja tidak bisa, air susah, listrik padam.  Banjir berlalu barulah bisa bernafas kembali dan menikmati lagi hidup biasa. Ternyata begitu indahnya hari-hari yang dianggap biasa itu.

Lihatlah di masa corona ini.  Sungguh lucu dan tak terduga bahkan cerita dari sejarah masa lalu pun tidak ada. Tapi kini menyentuh hidung sendiri pun tidak bisa sembarangan. Harus cape cuci tangan terus-terusan. Nyucinya juga tidak boleh ngasal dan selewat saja. Harus sungguh-sungguh. Keluar rumah harus pakai masker, sarung tangan, dan jas hujan. APD dari virus di luar rumah yang bisa saja ada di setiap orang yang ditemui dan di setiap benda yang kita pegang. Ke keramaian saja sudah tidak boleh padahal baru kemarin kumpul-kumpul 450 orang di MUGAB. Sekarang mau jumatan saja jadi tidak bisa. Jabat tangan dan pelukan berbahaya. Ngajar dari rumah. Begitu cepat dan mendadaknya semua jadi begini tanpa ada prediksi dan sosialisasi sebelumnya. Bahkan cenayang-cenayang dan orang pintar pun bungkam. Tak ada yang bisa meramal sebelum ini terjadi.

Tuhan, terimakasih atas semuanya. Bila suatu hari nanti (entah kapan karena situasi di perumahanku kian memburuk), bila hari kembali ke “biasa” lagi, aku tidak berani bilang lagi itu biasa. Tapi sungguh indah dan sangat luar biasa.

Persis sama rasanya ketika aku telah selesai mengikuti _terapi ozon_. Setiap hari menghirup oksigen murni di dalam kapsul selama 30 menit. Harga per-paketnya menguras dompet jutaan. Ya Allah, betapa Maha Pemurahnya Engkau berikan gratis oksigen pada semua orang tanpa pandang bulu.  Bahkan orang jahat pun tidak Engkau bedakan. Kau beri mereka oksigen. Kami begitu bodohnya menganggap pemberianMu yang trilyunan harganya ini bak barang biasa saja. Maafkan kami Ya Allah atas kekeliruan selama ini.

Apalagi yang kuinginkan sekarang?
Tidak ada…
Kecuali hanya ingin bersih-bersih. Semoga saat waktunya pulang, dengan karunia Allah, sudah “bersih”. Sambil merajut mimpi mendapat bonus maut indah hingga bisa bertemu dengan Allah, dengan Nabi Muhammad, dengan Masih Mauud, dengan semua nabi-nabi, dan dengan para khalifah. Mimpiku terlalu tinggi, mungkin. Oya, aku juga ingin bisa bertemu kembali dengan ayahku di sana. Kini hanya rindu yang tak sampai. Menyesakkan dada ketika rindu itu datang.

Kini sambil menjalani sisa masa senja. Di ufuk matahari terbenam, selagi ada waktu, menenun kain kafan dan merenda jalan ke syurga. Berharap hening, damai, sunyi, nyaman. Berhenti dari hiruk pikuk keduniaan. Semoga corona segera berlalu.

_Biasa itu luar biasa_

#Episode 8 KGPBR Writing Challange

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *