Berurai Air Mata

Oleh : Siti Ropiah.

Hari Kamis kemarin, aku sempatkan ngegym. Karena sudah hampir dua minggu olah raga itu tak kulakukan. Pulang mengajar sekitar pukul 09.00 WIB, aku bergegas menuju tempat ngegym. Kebetulan hari ini aku hanya mengajar satu kelas.

Sekitar satu jam di tempat ngegym, aku pun bergegas pulang. Rute pulang biasa kulakukan melewati salah satu perumahan. Hal itu kulakukan karena aku bisa melewati rumah abangku yang terletak di perumahan tersebut. Aku akan mampir sebentar untuk memberikan buah nanas madu untuknya sebagai buah penurun koleterol. Kebetulan abangku tersebut kolesterolnya agak tinggi. Tentu nanas pun kubeli untuk diriku sendiri, karena itu merupakan makan pavoritku selain durian dan nangka. Aku suka nanas madu karena rasanya tidak asam seperti nanas pada umumnya.

Ketika sedang asyik aku memacu si merah kesayanganku, terlihat dua orang ibu-ibu sedang asyik menyantap es cendol. Ntah kenapa, tak seperti biasanya aku kok kepingin cicipi es cendol tersebut. Akhirnya aku pun menghentikan motor di pinggir jalan perumahan. Segera kupesan es tersebut dan bergabung dengan dua wanita yang duduk di rerumputan di bawah pohon. Terik matahari membuat nikmat es tersebut walau di pinggir jalan.

Sambil menunggu es tersedia, aku tanya dua wanita tersebut. “Ibu sedang apa di perumahan ini”, tanyaku memulai perbincangan. Karena kulihat mereka tidak seperti orang perumahan tersebut. Terlihat mereka sangat haus menyantap es cendol tersebut. “Oh, saya berdua sedang cari kerja Bu”, salah satu di antara keduanya menjawab. “Loh kerja apa bu”, tanyaku lebih lanjut dan penasaran. Aku penasaran kerja apa yang dicari di area perumahan. “Kita mau jadi tukang cuci bu”, jawabnya. ” kita udah muter-muter, keliling perumahan tapi belon dapat juga”, lanjutnya dengan gaya bahasa orang Cikarang. “Karena aus, yah berenti di sini dan minum es ini deh”, ungkapnya masih dijawab oleh orang yang sama. Karena wanita yang sebelahnya sedang asyik minum es cendol.

Kuberanikan diri bertanya ” maaf, kenapa ibu mencari pekerjaan di perumahan ini, mamang suami ibu tidak bekerja”?. “Suami dagang, tapi hasilnya kurang untuk biaya bocah sekolah”, itu jawabnya dengan nada memelas. “Kurang karena anak saya masih pada sekolah bu, yang SMK dua orang, SD dan kuliah”. Aku terenyuh mendengarnya.

Sambil menikmati segelas es dawet (kata orang Jawa) segar, kami asyik mengobrol. “Sulit banget yah bu zaman sekarang cari kerjaan”, ungkapnya dengan nada bergetar. “Saya dan teman sudah muter-muter di perumahan,Sudah kaki capek dan pegel, tapi gak nemu kerjaan juga”, keluhnya lebih lanjut.

” Sabar bu” , ucapku. ” Allah punya rencana sendiri untuk ibu berdua”. Lanjutku. “Iya bu”, jawabnya. “Tapi urusan anak sekolah, tidak ditunda, mereka butuh dana untuk sekolah”. Pembicaraan terhenti. Aku pun segera menyantap es cendol yang masih setengah gelas.

“Anak ibu kuliah di mana?”, tanyaku kepo. Disebutkanlah lembaga pendidikan. Lembaga itu tempat aku mengajar. Deg, hatiku seperti dihantam palu. Disebutkan namanya dan aku mengenalnya. Anak yang baik dan tangguh serta penurut. Anaknya laki-laki. Ia rajin dan membantu mengurus musalla dekat rumahnya.

“Oh, itu anak ibu”, ungkapku dengan tak dapat kusembunyikan kagetku. “Bu, saya berikan keringan biaya untuk sekolah anak ibu tersebut, tolong nanti temui saya di kampus”. Seketika si ibu bercucuran air mata. Hingga kami terdiam beberapa saat. Tentu aku tahan agar air mata ini tak menetes. Setelah kondisi normal, si ibu berkata pada teman di sebelahnya, ” Ya Allah, ini hikmah capek kita keliling cari pekerjaan, walau gak dapat”. Aku pun segera pamit melanjutkan perjalanan pulang.

Sejatinya Setiap Kesulitan Ada Kemudahan

Salam Perindu Literasi

Salam Perindu Literasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *