Oleh : Nining Suryaningsih
Saat memeriksa pekerjaan siswa, dua orang siswi mendekat. Dengan ragu mereka saling pandang sebelum mengutarakan maksud mendekat ke meja depan.
“Bu, ada yang ultah lho hari ini.”
“Oh ya? Siapa?”
“KM, Bu.”
Aku berseru gembira. Namun tak lama aku merasa ada yang janggal dari mereka. Pasalnya kedua siswi memberi kabar itu dengan setengah berbisik. Belum lagi ada siswa di depanku yang seperti sengaja menutupi pandangan sang KM ke arah kami yang sedang berbincang.
“Ada yang mau disampaikan?” tanyaku sambil menebak.
Tania, salah seorang siswi yang memberitahu di awal tadi tersenyum.
“Jadi gini. Kami berharap Ibu bisa bantu acara kami. Kita kasih surprise ke dia. Ntar Ibu marah-marah gitu sampai dia nangis.”
“What?”
“Ih, Ibu …. Jangan keras-keras, ntar dia curiga,” Briani yang berdiri di samping mengingatkan sambil meletakkan telunjuk di dekat mulut.
“Kamu yakin kita bakal panjang umur?” tanyaku.
“Kok nanya gitu?” Tania dan Briani bertanya hampir bersamaan.
“Lha, kalau kita belum menyelesaikan drama trus KMnya dah marah-marah duluan lalu di antara kita ada yang dijemput ajal, kamu mau menjelaskan di akhirat?”
“Ih, Ibu. Gak gitu juga lah …,” Tania meringis sambil sambil memegang lenganku manja.
“Mending cari cara yang tetap bikin dia menangis tapi menangis terharu, bukan menangis karena kesel sama kamu-kamu, misalnya sampaikan kelebihannya,” ucapku sambil tersenyum.
“Oh gitu …. Ya udah deh. Ntar Tania yang sampaikan,” Tania merespon cepat dengan wajah sumringah.
Lima menit kemudian aku meminta perhatian pada para siswa.
“Katanya hari ini ada yang ultah ya? Siapa?” tanyaku pura-pura tak tahu.
“KM, Bu …!” teriak sebagian anak.
“KM celingak celinguk. Tak lama dia nyengir kuda.
“Kok Ibu tau? Dari mana?” tanya Indra, sang KM.
“Aada dech …,” jawabku dengan kalimat sok milenial.
“Buat yang ultah kita mau kasih apa?” tanyaku lagi sambil menyapukan pandangan ke seluruh penjuru kelas.
“Siram aja, Bu!” Delon berseru. Sebagian lain mengangguk tanda setuju.
“Ah, buang-buang air. Kamu tau berapa banyak orang yang kesulitan mendapatkan air bersih? Atau kalaupun ada, mereka harus mengambilnya dengan penuh perjuangan karena berkilomoter jaraknya?”
Semua diam, tampak meresapi kata-kataku yang kusisipkan intonasi deklamasi. Hihihi ….
Akhirnya kuminta Tania untuk ke depan.
“Tania, ada yang mau disampaikan?”
“Iya Bu,” jawabnya sambil melangkah maju.
“Buat KM, makasih udah mau ngurusin kita-kita yang bandel-bandel ini. Makasih juga dah suka bantu. Mmh … apalagi ya?” Tania berhenti sejenak. Lalu Mika, rekan ekskul si KM menyela, “Dia suka berbagi. Hihihi ….”
Walau seperti bercanda ungkapan Mika terdengar tulus.
“Kalian setuju KM memiliki sifat-sifat itu?”
“Iya …,” serempak sebagian siswa menjawab. Namun ada juga yang lalu menambahkan, “Kadang nyebelin juga. Hahaha …,” anak cowok yang duduk di ujung kanan berseru tanpa beban.
“Ok. Sementara fokus ke kelebihannya ya,” ujarku mengingatkan.
Setelah beberapa rekan lain menyebutkan kelebihan sang KM, kulihat ada air menggenang walau sedikit di mata Indra.
Aku segera menyadari situasi yang tampaknya membuat dia mulai hendak menangis.
“Kalau gitu Ibu mau kasih buku,” seruku.
“Yeeeaaayy!” yang ribut malah siswa-siswa lain.
Ah dasar anak-anak ABG.