Izin berbagi cerita.
Kekasih_Jiwa
Oleh : Lailatul Qodriah
“Aku masih mencintaimu, tak ada yang berubah.”
Suara lelaki yang berbilang tahun lenyap dari mata terdengar lirih diantara angin laut yang menerpa telinga.
“Masihkah engkau genggam rindumu dan berharap kita bertemu?”
Lagi suaranya terdengar. Kali ini begitu pilu.
“Aku masih menggenggam asa itu. Hingga kini. Tak pernah berharap rasa ini terganti.”
Pandangan lelaki itu menerawang jauh ke arah pantai.
“Aku telah melupakanmu. Belajar mengikis rinduku. Menafikan rasa bahwa ia pernah ada.”
Sederet kalimat yang keluar dari mulutku membuat lelaki berahang keras itu menoleh padaku.
“Tinggalkan ia. Kembali padaku!”
Suaranya berseru. Seakan mengalahkan debur ombak di laut biru.
“Tak akan! Semua sudah terlambat. Aku bukan lagi gadismu. Di bahuku telah ada tanggung jawab sebagi seorang istri dari lelaki yang telah berusaha membahagiakanku.”
Lelaki itu menatap tajam manik mataku.
“Aku tahu engkau tak bahagia. Akulah bahagiamu. Engkau tak mencintainya. Akulah cintamu.”
Aku balik menatap manik coklat matanya. Menginsyafi semua perkataannya. Jauh dilubuk hatiku, rasa cinta itu tak pernah ada untuk sosok lelaki yang telah berbilang tahun setia dalam perjalanan sunyiku. Penyerahan tubuhku dan pengabdian yang kupersembahkan seakan hanyalah balas jasa atas pengorbanannya atas segala rasa untukku.
“Aku telah kembali dari negeri di mana angin adalah rindu, di mana awan adalah nyanyian cintaku. Engkaulah napasku, rindumu adalah canduku. Kembalilah.”
Tangannya merengkuh bahuku. Seolah meminta rasa untuk bangkit. Ya, rasa yang telah susah payah kutitip pada angin, kuserukan pada air mengalir, agar menjauh dan tak pernah kembali.
“Aku dengar desau rindumu, kuresapi kehilanganmu pada sungai mengalir di hatiku. Aku mencintai seumpama api yang membakar. Tak pernah padam.”
Tanganku melepas peluknya.
“Lalu kemanakah engkau selama ini? Di saat jiwaku rapuh, di saat rinduku berseru, apakah engkau tak melihat? Betapa tubuh ini tak mau menyesap jiwa, betapa hati kian melara. Apakah engkau menafikan semua?”
Teriakanku seakan mengalahkan deru ombak yang bergulung dan menghempas diatas pasir.
Lelaki kokoh itu membuang muka.
“Di saat engkau merindu, sesungguhnya aku sedang merintih dalam luka, di saat engkau dahaga akan cintaku, hakikatnya hatiku sedang berdarah. Aku tak kemana. Aku ada dalam jiwamu, dalam setiap tarikan napasmu”
Bisikannya membuat tubuhku kaku. Aku menatapnya marah.
“Lalu mengapa aku tak merasakan hadirmu? Ada apa dengan semua?”
Lelaki itu melangkah menyusuri pantai. Aku mengejarnya. Lelaki itu berbalik.
“Jika engkau tak merasakan hadirku, sejatinya aku bukanlah kekasihmu lagi. Karena jiwamu tidaklah bersamaku, duhai cinta.”
Lelaki yang pernah hadir dalam relung jiwaku itu berlari menjauh. Kembali meninggalkanku yang tergugu. Seperti dulu kala cintaku menggelora, dia bertabik tanpa pernah bertanya mengapa cinta harus kembali berdarah. Aku terpaku, mencoba memafhumi bahwa cinta tanpa ruh tak akan pernah berlabuh. Mencoba berdamai kembali pada jiwa, bahwa semua adalah asa tanpa dapat terwujud dalam genggaman.
Kekasih, pergilah. Rinduku tetap sama, jiwa dan cintaku hakikatnya masih milikmu. Jika kini takdir memisahkan kita. Tuhan tahu yang terbaik untuk semua hamba.
Tamsel, awal November -dalam peluk matahari pagi-