Oleh : Ramaditya Adikara
Part 1
“Aduh, bagaimana ini? Harus kuapakan istriku di malam pertama kami?”
Bergetar tubuhku tiada tertahan. Selain berusaha meredam tuntutan biologis yang kini telah halal kulakukan, berbagai rasa saling sundul-menyundul di dada, membuat diri jadi salah tingkah!
“I love you, Bunda,” bisikku, berusaha menenangkan gejolak. Namun, lagi-lagi hati nuraniku berseru, “cie, udah ayah bundaan aja, nih? Tuh, kerjain tugas pertamamu sebagai suami! Nanti kalau sudah ada hasilnya, sok deh ayah bundaan!”
“Tapi aku ini buta! Bagaimana bisa?”
Ya, itulah satu dari sekian ratus ribu adegan yang mewarnai rumah tangga kami. Aku, pria buta, bersanding dengan wanita yang sempurna lahir batin.
Kata orang, istriku cantik. “Mirip tuh sama Annisa Pohan!” ujar salah seorang tetangga.
Waduh, bagaimana ini? Annisa Pohan saja aku tak tahu seperti apa tampangnya. So, daripada bingung, aku ikuti saja standar kecantikan yang telah ditetapkan senior-seniorku sesama orang buta!
“Cewek cakep itu rambutnya panjang dan suaranya lemah lembut!” Hmmm, padahal Kuntilanak rambutnya juga panjang dan suaranya lembah lembut.
Alright, then! Karena sudah halal, sebaiknya aku adakan pemeriksaan dulu! Ah, ternyata benar rambut istriku panjang! Tapi, suaranya nyaring dan kalau tertawa keras sekali!
Hmmm, cantik tapi suaranya nyaring. No problemo-lah! Lagipula dia mau menerimaku sebagai suaminya meski tahu kondisiku seperti ini. Kok ya kebangetan kalau masih komplain juga. “Inner beauty. That’s what matters, iya kan?”
Sayangnya, kegiatan periksa memeriksa rambut kembali membawaku ke persoalan semula. Mau kuapakan istriku sekarang ini?
Namun, ketakutan dan kebingungan itu sirna seketika saat aku memeluknya. Seperti lirik lagu-lagu romantis ala Walt disney; “love will find the way.” Cinta akan menuntun siapa saja, tak peduli buta atau tidak, untuk membahagiakan pasangannya.
….dan aku baru ingat! Rata-rata saat malam pertama, orang-orang juga melakukannya dalam kondisi gelap karena lampu dimatikan. So, apa bedanya?
Ehem! Jadi, mohon maaf karena adegan dua jam berikutnya tak dapat kutulis disini, sebab aku sudah berubah jadi harimau dan tak lagi ingat bagaimana caranya mengendalikan diri. ^^
*
Mempersunting wanita berfisik sempurna bukan pekerjaan mudah, apalagi jika ia adalah primadona di mata keluarga dan lingkungan.
“Yang melek aja susah dapet jodoh, gimana yang merem?” keluh temanku sesama buta kira-kira dua puluh tahun yang lalu, tapi sekarang sudah punya anak tujuh.
“Namun aku mencintainya!” teriakku pada dunia. “Karena Allah, nggak?” tanya hati nuraniku. Hanya anggukan tegas dan angin menderu yang menjawab.
Alhamdulillah, wanita yang kutaksir pun balas menaksir. “Come to my castle, my prince,” tantangnya.
Maka, berkunjunglah aku ke rumah tuan putri yang ternyata seorang yatim itu. “Begini, Nak. Sebaiknya kalian berteman saja. Ibu menghendaki sang putri mendapatkan jodoh yang layak dan mapan,” tolak ratu rumah.
Dia cantik, orangnya baik, penyayang binatang dan jago masak. Plus, cintaku sudah diterimanya! So, apakah hanya karena ditolak ratu rumah lalu aku menyerah?
Tentu tidak! Setiap kali ratu rumah menolak, senyum ikhlas dan keranjang buah-buahan yang balas bicara! Tak lupa, sesekali aku pura-pura meninggalkan slip gaji di meja. 🙂
Alhamdulillah, akhirnya ratu rumah luluh, namun tetap saja menyisakan satu pertanyaan.
“Nanti kalau cucuku lahir buta, bagaimana?”
“Saya serahkan segalanya pada Allah,” jawabku bijak, padahal di hati sudah dag-dig-dug-der takut calon mertua berubah pikiran.
*
What? Lanjutin cerita malam pertama? Itu kan sudah di atas! SKIP!
*
Alhamdulillah, 9 Desember 2012 kami resmi naik jabatan sebagai king and queen!
Tugasku berikutnya, adalah menjadi suami yang layak dan mapan.
Layak, artinya aku tak boleh mengedepankan kelemahanku sebagai orang buta. Hal mana yang bisa kukerjakan untuk meringankan beban istri, ya kukerjakan dengan senang hati. Otomatis, istriku jadi ekstra repot karena harus mengurus suami yang “menganut aliran kegelapan.” Nah, dengan membantu semampunya (cuci piring, urus anak, nyapu ngepel dll) setidaknya akan menutupi kerepotan tersebut. So, antara aku dan istri sama-sama membantu dan dibantu.
Begitu pula soal kemapanan. Mapan di sini, artinya aku tak boleh berpangku tangan, lagi-lagi pantang mengedepankan kekurangan yang diakibatkan tiadanya penglihatan. “No excuse!” kata Bapak. Namanya laki-laki ya harus tetap bekerja dan menafkahi istrinya!
Jadi, nggak ada tuh ungkapan terlontar, “beruntungnya lelaki buta itu karena ada yang mau sama dia!” BIG NO, karena kami saling menguntungkan!
*
Ternyata ketika dijalani dengan biasa-biasa saja, ya hasilnya pun biasa-biasa saja. Tak ada kerancuan atau kerikuhan di antara aku dan istri.
Justru, karena aku buta, jadi enak. Tak peduli sedang kesal gara-gara uang belanja yang kuberikan kurang, atau sedang kesemsem gara-gara kujanjikan nafkah batin yang ketiga di minggu yang sama. Kemana-mana kami selalu bergandengan tangan!
Namun, seperti halnya kisah rumah tangga lainnya, cobaan dan ujian pun kerap meliputi perjalanan kami.
*
Ujian terbesar, tentu saja, adalah ketika kami dikaruniai anak. Bagaimana aku sebagai ayah buta harus menjaga dan merawat mereka.
Kebetulan istriku seorang karyawati, dan aku bekerja non-kantor. Jadi untuk mengurus buah hati, kami bahu-membahu dengan keluarga.
Alhamdulillah, karena telah menjalani gemblengan hidup mandiri, aku tak menemui kesulitan berarti saat harus mengurus anak.
Saat anak-anak masih kecil, aku sering menggendong dan membawa mereka jalan-jalan atau main di taman. Tahun pertama, kegiatan itu kerap membuat panik warga sekitar. Namun, setelah aku punya anak dua, komentar mereka adalah, “biarin aja nggak usah dituntun!”
Begitu pula ketika, maaf, buah hati membuahkan sesuatu. Sesuatu yang kusebut sebagai “harta karun.”
Karena tidak melihat, aku harus menggunakan indera peraba dan penciuman untuk melacak “harta karun” itu. Menggapai-gapai, meraba-raba lantai atau tempat tidur, hingga akhirnya menemukan harta karun itu dan membuangnya ke toilet. Itu harus kulakukan dengan cepat dan cekatan, termasuk mencebok dan memakaikan pakaian pengganti.
Selebihnya, aku membantu istri mengajar anak-anak cara ibadah. Menghapal surat-surat pendek dan hadits tugas dari sekolah. Menemani mereka belajar dan bermain. Pokoknya “everything I do I do it for you!”
*
Sebenarnya masih panjang dan lama jika aku harus mengisahkan kisah cintaku bersama istri. Hingga saat ini, kami tengah bekerja keras menebus “istana kecil” yang belum lunas terbayar. Lagi-lagi, ini adalah masalah rumah tangga yang kerap membuat kuatir dan gamang. Namun sekali lagi, “love will find a way.” Apalagi kalau usaha itu didasari keimanan pada Allah.
Maka, beginilah catatan kecil ini aku tulis. Untuk melegakan dan memberi makna pada siapapun yang membacanya.
Jika kau mencintai seseorang, do it all the way sampai mentok! Tak usah kuatir soal keterbatasan, apakah itu fisik, ekonomi, dan lainnya. Insya Allah, kekurangan kita akan diisi oleh kelebihan pasangan kita.
Jangan pernah mengasihani diri sendiri, karena kau tak akan pernah mau dinikahi atas dasar kasihan, bukan? Maka, berusahalah untuk tidak lari dari keterbatasan, tapi cobalah untuk menyongsong lalu membalut keterbatasan yang dimiliki pasanganmu.
Ada suatu ketika, di mana masalah dan cobaan hidup membuat kita bingung dan takut. Itu pun tak luput mendera aku dan istri.
Jika hal itu tiba, yang kulakukan adalah…PSSST, peluk istri erat-erat! Tak tahulah apa penjelasan ilmiahnya, namun saat berpelukan dan bersatu, selalu ada saja solusi untuk masalah atau cobaan yang sedang dihadapi. Rasanya, segala hal yang sebelumnya berat dijalani sendiri jadi lebih ringan saat dijalani bersama.
….and no! Kalian tak akan mendapati kelanjutan catatan setelah aku memeluk istri! Istighfar, guys!
“Cinta akan selalu menemukan jalannya, dan cinta atas dasar keimanan pada Allah akan menemukan kebahagiaan.”
*THE END