TETAP SAJA PENDATANG
#Part10
“Lanang apa wadon…. ?….”, Seketika seseorang memberhentikan becak yang kami tumpangi di tengah jalan.
“Lanang kabeeehh…”, Jawab jawab pak becak dengan nada tegas dan sedikit keras.
Ketika itu aku disuruh emak diam, aku pun menurut. Meski dalam hati kecilku ingin sekali melihat apa yang sedang terjadi di luar sana, karena sepanjang jalan menuju lokasi Mah Tamba, kami ditutup rapat oleh pak becak dengan pelindung hujan yang terbuat dari plastik dan masih dilapisi lagi di depannya dengan karung yang telah dijahit rapi. Kebetulan gerimis membersamai perjalanan kami hingga ke lokasi.
Setelah jauh dari orang yang memberhentikan kami, pak becak pun berkata, “Alhamdulillah… Untung weh…”.
“Kenapa bang…?”, Tanya emak spontan karena heran.
“Itu begal daerah sini Bu, biasanya orang yang naik becak atau kendaraan apa pun pasti kena begal sama dia”, pak becak menjelaskan dan nafasnya pun tersengal-sengal karena sambil mengayuh pedal.
“Alhamdulillah kita selamat ya bang…”, ucap ibu kepada pak becak dengan rasa syukur.
“Alhamdulillah Bu, saya kan orang sini… Insya Allah mereka juga ga berani lah periksa penumpang saya”, tegasnya.
” Masya Allah, jadi benar kata ibu pemilik warung kopi tadi. Pak becak ini benar-benar amanah dalam menjaga keselamatan kami”, batinku berucap.
###
Setelah lama menelurusi jalan, akhirnya kami sampai di tujuan.
“Nah, di sini tempatnya bu”, ucap pak becak menunjukkan. Kami pun langsung turun dan emak menyodorkan sejumlah uang telah di sepakati bersama dengan pak becak sebelum tiba ke lokasi.
Jam menunjukkan pukul 3 pagi, kami pun langsung memasuki musholla seperti aula dan mengambil tempat di sebelah tiang belakang. Banyak orang di dalamnya sedang beristirahat juga. Sepertinya mereka memiliki tujuan yang sama.
###
Setelah langit nampak bercahaya, emak lamgsung membawa kami ke bagian depan dan mulai berbincang dengan seseorang yang asing menurutku.
“Jadi ibu mau menyembuhkan saja, atau membalas juga ?”,
Bersambung….
Tantangan menulis KPPBR ke-22