RIUH RINDU (1)

RIUH RINDU (1)
Ratih W

Senja menapak…melukis keindahan semesta. Sebentuk raga tegap memesona netra. Lengkap dengan sederet kalimat yang deras terucap. Sejenak melarutkan rasa memberi sejuta wangi bunga. Selaras mendung mulai bergelayut menyambut gelap. Kata-katanya deras mengalir seolah titik hujan yang jatuh menghujam bumi.

“Aku mencintaimu, karenanya Aku kembali untukmu. Hela napasku adalah namamu, detak jantungku adalah kasihku. Rinduku padamu seperti candu. Maafkan jika aku hilang sesaat tanpa ada kabar berita. Aku berjuang untuk kita, Puja.” Aku ingin memberimu bahagia. Sejatinya bahagia. Tak hanya cinta yang akan kuberi, namun jerih payah hasil keringatku. Bertahun kupupuk kusimpan kuberi namamu.” Matanya berbinar menorehkan asa.

“Jauh darimu Aku menderita, Puja.”
Tatapnya jauh melampaui cakrawala yang kian abu. Setiap saat harus meredam rindu yang mengobrak-ngabrik perasaanku. Aku menghibur diri dengan bekerja keras. Hingga aku sanggup datang dan kembali untukmu, Puja.”

“Kembalilah… aku datang hanya untukmu.” Aku tak bergeming berusaha menguatkan hati. Kupejamkan mata menahan amuk rasa yang kian tumpah ruah. Laki-laki yang pernah meluapkan gelora asmara , lalu raib entah kemana. Meninggakan sedu-sedan bongkahan rasa yang sesaat hancur. Sekarang kembali hadir dihadapanku dengan setumpuk asa.

“Puja, aku tahu kau tak bahagia. Ucapnya lirih mengiris rasaku yang kian mengharu biru. Aku ingin menghabiskan waktuku hanya denganmu. Tak bisa kumencinta ke lain raga, menyayangi ke lain hati.”

Tubuhku bergetar membuncah menahan rasa bimbang. Rasa cinta yang lama kupendam. Menyisakan kenang manis yang tak kan terkikis habis. Dan kini wajah yang kerap hadir dalam mimpi, meninggalkan luka perih di setiap ku membuka mata, ada dihadapanku.
Kemudian berganti dengan wajah pria bersahaja yang datang kala hatiku terluka. Wajah-wajah mungil yang hadir dari sebuah ikatan suci. Lalu lalang tersenyum, tertawa. Berlari-lari dalam otakku. Mereka berteriak ….Mamie, Mamie, mamieeeeeee…. ! perlahan menghilang.”

Bumi seolah berputar begitu cepat. Degup jantungku berdetak tak tentu arah.
“Pergi, pergilah! untuk apa kau kembali?.
Kau pernah remukan hatiku hingga luluh lantah. Aku melolong mencari dalam kepedihan tiada batas. Dimana engkau ketika aku dengan cinta yang melangit merintih menahan sakit hati. Mendengarkah engkau untuk rinduku yang dulu membumi. Aku jauh menderita, hampir hilang otak warasku. Hingga satu waktu datang pria baik yang kembali menata keping hatiku yang terserak. Dia suamiku, bapak dari anak-anakku.

” Demi allah… pergilah..jauh dari kehidupanku!” Aku mulai terisak tak sanggup menahan beban jiwa yang begitu berat menghimpit hati.
“Pergilah, Mas! kupalingkan muka menghindar dari tatap tajam yang dulu melumpuhkan hati. Kukuatkan hatiku dari keinginanku sendiri. Rindu itu masih menggunung memagar sudut benakku. Ingin rasanya berlari, mendekap berlabuh pada dermaga tegap yang dulu kerap mendamaikan jiwa.

“Pergilah! Aku sudah bahagia kini. Tak mungkin aku kembali. Kupejamkan rapat-rapat mataku, makin tak sanggup melihat wajahnya tertunduk layu. Sesekali menyeka sudut matanya yang tampak membasah. Pria tegap perkasa itu tak ubahnya bak anak yang kehilangan ibu. Terisak, kemudian memukul-mukul dinding dengan tangan terkepal meluapkan emosi.

“Aku mencintaimu, Puja! dengan segenap rasaku. Bagaimana aku bisa meneruskan hidup tanpa engkau, Puja.”
Suaranya serak menatapku dengan tatap mendayu, meretakkan kalbu.
“Tuhaaaaan….kuatkan hatiku.” Tubuhku terasa panas seribu rasa berkecamuk.
“Carilah penghidupanmu sendiri, Mas! ”
“Tak mungkin aku kembali.”

Senja perlahan raib, surya telah karam di balik bukit. Desau angin sejuk melarutkan rasa. Seiring derai gerimis turun mengiba. Hening sunyi seolah alam larut dalam nestapa.

#Tantangan ke-27 KPPBR
# Bani Adam 18 : 14.08.20

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *