PASAR MALAM Oleh Gorby Saputra

Pasar malam sebagai
Ekonomi Rakyat dan semangat perlawanan

fenomena pasar malam yang sempat mengemuka di Jakarta sejak 1889.

Kala itu di Jakarta Pusat, lebih tepatnya di Weltevreden (sekarang kawasan Gambir/lapangan banteng), menjadi lokasi penyelenggaraan pasar malam pertama yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda untuk memperingati penobatan Ratu Wilhemina.

Puncak kejayaan pasar malam yang menyebar di seluruh Indonesia terasa di tahun 1963 dan kembali semarak pada tahun 2000-an dengan berbagai wahana menarik, salah satunya adalah Tong Edan atau Tong Setan, sebutan lainnya yakni roda-roda gila yang mana merupakan salah satu wahana yang sempat fenomenal di zaman dahulu.

Sejarah pasar malam di Indonesia memang cukup panjang. Dibawa sejak ratusan tahun lalu oleh para pedagang Cina yang datang ke Indonesia sambil menjajakan keramik atau rempah-rempah. Pasar malam pertama tercatat di Chang’an salah satu kota terbesar di zaman Dinasti Sui di Tiongkok kuno.

Di zaman tersebut, penyelenggaraan pasar diatur secara ketat oleh kekaisaran. Hingga pada 965 di zaman Dinasti Song, kekaisaran menghapuskan larangan berdagang setelah tengah malam.

Berdirinya Pasar Malam Besar pada 1959 diotaki oleh Tjalie Robinson alias Vincent Mahieu, seorang intelektual Indo dan sastrawan terkenal. Pria berdarah Belanda-Inggris-Jawa ini bernama asli Jan Boon.

Kala itu, 1950-an, terjadi migrasi besar-besaran komunitas Indo ke Belanda. Di Indonesia, suasana memanas, dan memaksa mereka berhijrah.

Namun Negeri Kincir Angin pun tak betul-betul menerima mereka. Kerajaan Belanda mengeluarkan aturan tentang asimilasi dan menghimbau kaum Indies melupakan sejarah negeri seberangnya. Robinson menolak kebijakan itu, dan bersama rekan-rekannya sesama keturunan campuran Indonesia-Belanda, ia membentuk Indies Cultural Circle. Salah satu pencapaiannya adalah terselenggaranya Pasar Malam Besar.

Idenya untuk nostalgia Pasar Malam Gambir yang rutin diadakan di Lapangan Banteng, Batavia.

Saat itu, acaranya masih sekadar pertemuan, makan, dan musik, dan pengunjung boleh menyumbangkan dana untuk melestarikan budaya hibrida mereka selama tiga hari.

Merekalah yang melestarikan bahasa Pecok (juga dieja sebagai Petjo atau Petjoh) –bahasa yang digunakan kaum Indisch (Indo Eropa) pada abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, yang awalnya berasal dari Hindia Belanda.

bahasa campur-campur ini diperkirakan menghilang pada akhir abad ke-21.

Bahasa kaum Indo adalah campuran antara bahasa Belanda, Melayu, Betawi, dan Jawa.

Dari tata bahasa, ia mengikuti bahasa Melayu, sedangkan dari leksikon, bahasa ini merujuk bahasa Belanda.

Pasar malam dibangun dengan sifatnya yang merakyat.”Secara umum, di Indonesia sendiri juga diadakan kerajaan, seperti sekaten di Yogyakarta. Sebetulnya, ini prakarsa dari para elite,” pungkas Asvi.

Bukan hanya di Jakarta, sejarawan Anhar Gonggong menyebut di Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan, demam pasar malam juga terjadi. Sekitar 1963, lapangan terbuka dimanfaatkan sebagai pasar malam. Pasar malam itu hampir digelar di seluruh kepulauan di Indonesia, biasanya untuk merayakan hari-hari tertentu.

“Di dalamnya ada permainan yang hadiahnya berupa sepeda. Akan tetapi, ada juga pasar malam yang menyediakan permainan semacam judi rolet,” kata Anhar.

ciri-ciri umum pasar malam yang hampir sama, kecuali adanya berbagai macam produk yang diperdagangkan, serta adanya berbagai macam pelaku dari pasar malam.

Oleh karena itu, dari gambaran penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertama, pasar malam telah menjadi ruang ekonomi, budaya, sosial, dan politik. Pada ruang ekonomi pasar malam memainkan fungsinya sebagai pasar umum yang ditunjukan untuk memenuhi kebutuhan di sekitar lokasi pasar malam.

Dalam arti budaya, pasar malam telah menjadi panggung bagi lahirnya kreativitas semi masyarakat dengan segala tujuan dan kepentingan seperti pentas ludruk, sirkus, dan pertunjukan lainnya.

Di samping itu, pasar malam juga berkaitan dengan bidang sosial.
Pada ranah sosial ini, pasar malam telah memainkan perannya sebagai tempat interaksi sosial masyarakat berbagai etnis yang hadir di pasar malam termasuk untuk amal.
Pasar malam telah menjadi magnet dari berbagai lapisan sosial.

Pasar malam juga ikut terseret dalam pusaran politik seperti pada masa pendudukan Jepang, pasar malam digunakan sebagai markas militer.

Pada masa sesudah kemerdekaan digunakan oleh oknum militer sebagai “sumber ekonomi” yakni pajak keamanan dan tontonan.

Pada tahun 1960an, pelaku pasar malam dicap sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia melalui pentas kebudayaan yang ikut meramaikan perayaan pasar malam.

Gorby saputra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *