Manusia Hanif

Oleh: Nining Suryaningsih

Empat siswa mengadu. Salah satunya berkata ada guru yang ringan tangan memukul wajah mereka. Ngepret, istilah dalam Bahasa Sunda. Mereka tak terima. Seharusnya guru tak berlaku begitu. Mereka bahkan mengatakan bisa saja sang guru mereka adukan ke pengadilan. Dengan bantuan ayah salah satu dari mereka yang katanya polisi, mereka bisa menyeret sang guru ke bui.
Setelah kuminta mereka bercerita, kejadian ngepret bermula karena mereka dianggap menggaggu kegiatan belajar dengan memukul-mukul meja. Sang guru meminta mereka memukul meja lebih keras, di depan kelas, dan memukul terus hingga meja jebol. Mereka menurut, mungkin karena takut. Setelah jebol, mereka berhenti, lalu mereka menyeringai karena tangan yang digunakan mengalami lecet dan ada yang sedikit bengkak.
Aku mengobatinya, sambil menyimak serangkaian protes keras yang mereka lontarkan dengan penuh tekanan. Setelah keempat anak itu kuolesi obat mahal yang selalu kubawa dalam tas, aku menatap mereka satu persatu.

“Jadi, kamu maunya gimana?” tanyaku.

“Mestinya si Bapak itu mita maaf dong.”

“Kalau nggak?” desakku.

“Ih, masak sudah mukul kita si Bapak gak merasa bersalah? Mentang-mentang guru, seenaknya saja memukul siswa, Saya juga bisa mukul, ntar kalau saya sudah besar saya juga bisa.”

Tak lama lewat seorang siswa teman sekelas mereka. Sebut saja namanya Gusti.

“Kalau Gusti gak kena pukul tadi?” tanyaku pada keempat anak tadi seteah Gusti menyalami lalu pergi.

“Nggak.”

“Kira-kira kenapa?” tanyaku pura-pura polos.

“Ya dia kan gak mukul-mukul meja tadi.”

“Artinya kemarahan si Bapak itu ada penyebabnya kan?” jelasku.

“Iya sih. Tapi masak sampai harus ngegampar kita? Nih, pipi kami tadi merah,” sambil memiringkan wajahnya, menunjuk pipi kanan, salah seorang berseru dengan napas memburu.
Aku tak terlau memperhatikan. Apalagi keempatnya berkulit sawo matang, mana bisa bekas tamparan terlihat jelas?

“Jadi kemarahan si Bapak itu ada alasannya, kan?” tandasku mengulangi pertanyaan.

Sejenak mereka terdiam.

“Iya, tapi kenapa gak minta maaf? Mestinya kan dah salah menampar kita si Bapak minta maaf dong, tuh kayak Pak Anu (mereka menyebut salah seorang bapak guru).”

“OK. Sekarang dengarkan. Kalau ada orang dewasa berperilaku tidak seperti seharusnya, kita harus gimana?”

Diam sesaat. Mereka seperti tercekat. Salah seorang yang masih terlihat tegang berkata dengan lirih, “Bisa diperkarakan, kan?”

“OK, saya biarkan kamu memperkarakan si Bapak itu. Silakan pergi ke pengadilan. Yakin dia dijebloskan ke penjara. Setelah itu apa?”

Salah seorang yang duduk di sisi kanan seperti tersadar.

“Ya sudah, dimaafkan.”

Yang lain tercengang namun tampak kebingungan.

“Tapi kan itu salah. Seharusnya si Bapak meminta maaf.”

“OK, saya setuju, SEHARUSNYA si Bapak meminta maaf pada kalian. Pertanyaan saya tetap sama, kalau si Bapak tidak meminta maaf, kalian mau apa?” desakku sambil menatap mereka satu per satu.

Hening sejenak.

“Kalian suka baca alquran?” tanyaku kemudian.

Mereka mengangguk.

“Ada ayat alquran yang berbunyi Balasan atas suatu kejahatan adalah kejahatan yang sama. Pernah dengar ayat itu?”

Dengan ragu mereka menggeleng.

“Kalau kalian berhenti baca sampai di sana, kalian benar bila mengadukan si Bapak ke pengadilan. Tapi ayat itu ada terusannya, Namun barangsiapa yang memaafkan, maka sesungguhnya Allah itu Maha Pemaaf.”

Kerutan tercetak di dahi mereka.

“Kalian BOLEH membalas kejahatan si Bapak, atau mengadukannya ke jalur hukum. BOLEH. GAK SALAH. Tapi Allah menawarkan hal lain. Ada yang lebih dari sekadar BOLEH, yaitu LEBIH BAIK.”

“Memaafkan?” tanya si anak yang konon putra polisi.

Yang lain tampak kesal.

“Itu kalau kamu mau LEBIH BAIK. Silakan pilih.”

Putra polisi mengangguk-angguk. Yang lain masih tampak bingung.

“OK, gini deh. Kalau kalian shalat boleh gak badannya gak pake baju, bahkan gak pake kaos dalem?”

Dengan ragu mereka menjawab, “Bo … boleh. Eh, boleh ya?”

“Boleh. Karena syarat sah shalat itu menutup aurat. Dan aurat laki-laki kan dari pusar sampai lutut. Jadi BOLEH kan shalat gak pake baju?” ujarku mulai merasa menang karena pancinganku berjalan.

“Tapi masak sih …, salah seorang berseru, lalu kupotong.

“Nah, MASAK SIH shalat gak pake baju? Artinya walaupun BOLEH, kamu memilih yang LEBIH BAIK. Betul?”

Keempatnya mengangguk-angguk, tampak meresapi penjelasanku ini.

“Dalam istilah Islam, yang seperti itu disebut haniif, cenderung pada yang lebih baik.”

Aku meletakkan tube obat di sebelah, dekat tembok. Sengaja kuletakkan di pinggir tembok. Lalu aku minta merek memperhatikan tube obat itu.

“Andai ada orang nyuruh meletakkan gelas di pinggir meja seperti ini, apakah kamu mau nurut nyimpen di PINGGIR meja, atau kamu simpan di TENGAH meja? Anggap aja tube obat ini gelas, dan tembok ini meja ya,” ujarku sambil tersenyum.

“Ya di tengah lah,” ujar salah seorang di antara mereka.

“Nah, persis. Orang yang berpikiran haniif akan meletakkan di tengah, bukan di pinggir seperti perintah. Artinya dia menggunakan akalnya untuk melakukan yang LEBIH BAIK.”

Semua mengangguk tanda mengerti.
Semoga saja, karena penjelasan ini datang dari orang yang beda generasi, terpaut sekian puluh tahun bedanya.
Hahaha ….

One thought on “Manusia Hanif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *