Menjemput Taqdir Muallaq : Sebuah Kajian Kritis Terhadap Ikhtiar Manusia
Oleh : Wahyudin, NS.
Anggota KPPBR
Terakhir saya keluar rumah pada tanggal 20 Maret 2020, saat saya tugas khutbah Jumat di masjid Al Azhar Cikarang Baru. Saya berupaya tetap tinggal di rumah, karena mempraktikkan Social Distancing, Stay at Home, Work From Home dan turunannya. Karena ingin mengikuti ikhtiar yang diperintahkan ulama dan umaro untuk memutus rantai penyebaran Covid-19. Itulah ikhtiar yang harus dilaksanakan sesuai dengan protokol dan aturan medis yang ditetapkan. Memang jenuh untuk Stay at Home, tetapi itulah kondisi objektif yang harus saya lakukan.
Tepatnya pada hari Ahad 05 April 2020 akhirnya berupaya ke luar dari rumah agak jauh, dengan kondisi emergency. Karena saya harus menemani istri menuju dokter gigi. Sebagai upaya maksimal agar terhindar dari penyakit. Itulah ikhtiar manusia, puncaknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Dalam konteks theologi, termasuk menjemput taqdir muallaq. Artinya ada peran manusia untuk mengupayakan. Seperti jika ingin pandai harus giat belajar. Bila ingin menjadi orang sukses harus rajin bekerja. Jika ingin sehat harus diikhtiarkan memelihara kesehatan, hidup yang teratur dan beberapa prosedur lainnya.
Ada spanduk menarik yang dipampang pada jembatan jalan Playangan Desa Karangsari produk Kepala Desa, Bapak Umbara bersama jajarannya. Substansinya sebagai berikut : “Jaga Anda, Jaga Iman, Jaga Imun dan Jaga Jarak”. Sangat relevan dengan upaya pencegahan Virus Corona Diasese-19 yang masih mewabah.
Pertama, jaga Anda. Artinya setiap diri harus memelihara dan memagari dari serangan Virus Corona. Virus itu ada tetapi seakan tiada, atau tiada tetapi ada. Karena secara kasat mata tidak terlihat. Tugas kita memagari dengan selalu mencuci tangan dengan sabun, memelihara badan dan jiwa. Sehingga ikhtiarnya benar-benar maksimal. Menurut Jubir pemerintah pertanggal 05 April 2020 penyebarannya masih massiv dengan data : posistif 2.273 kasus, meninggal 198 orang dan sembuh 164 orang. Bisa kita ungkapkan, kian hari semakin bertambah penyebarannya.
Kedua, jaga iman. Mantap betul statemen ini. Karena dengan iman akan tenang. Dengan iman menjadikan seseorang menjadi damai hidupnya. Yusuf Qardhawi (2000: 360) mengutip surat kabar harian yang terbit di Kairo, al-Akhbar Muhammad Zaki Abdul Qadir pernah menulis: “Sesungguhnya percaya kepada Allah SWT adalah hal yang dikehendaki oleh ilmu pengetahuan, bukan sebatas tuntunan agama. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah sanggup menyelesaikan aneka problema dan penderitaan yang dialami oleh manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Betapa sering peristiwa tragis menimpa umat manusia dengan sekonyong-konyong, tanpa terlihat tanda-tanda sebelumnya. Dan dalam keadaan demikian maka satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah berserah diri kepada kodrat dan kehendak Allah. Kalau sekiranya kita tidak berpijak pada landasan iman tentu kita tidak lagi sanggup menanggungnya”. Subhanallah, keberadaan iman lah yang membuat manusia tetap tegar menghadapi ujian hidup seberat apapun. Agama lah yang idealnya menjadi garda terdepan merespon kehidupan. Diperkuat Komaruddin Hidayat (2008: 20) mengungkapkan “Dalam menghayati iman dan cinta pada Tuhan, sesungguhnya seseorang tengah mengaktualisasikan kemerdekaannya yang paling tinggi dan tengah membebaskan diri dari dominasi egonya agar diganti dengan sifat-sifat ilahi. Proses internalisasi sifat Tuhan inilah barangkali yang tersirat dalam doa: “Datanglah KerajaanMu di hati ini, dan berlakulah kerajaanMu di muka bumi”.
Ketiga, jaga imun. Ketahanan jiwa dan raga harus terus diupayakan. Terutama optimisme dalam menjaga kesehatan. Dengan cara apa? Tentunya dengan makan makanan bergizi dan berolah raga teratur. Maqolah Arab mengungkapkan “al aqlussaliim fil jismissaliim”. Di dalam akal yang sehat terdapat jiwa dan badan yang kuat. Di sinilah faktor ikhtiar manusia digulirkan. Artinya, setiap diri wajib berupaya maksimal untuk sehat. Akhirnya kita bertawakkal kepada Allah SWT setelah ikhtiar optimal puncaknya menyerahkan kepada taqdir. Hal ini dikarenakan, ada keterbatasan manusia dalam berupaya. Sebagaimana Allah SWT berpesan : “Dan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit”. (QS. Al Isra : 85). Keterbatasan ilmu manusia inilah yang kemudian membawa manusia wajib mempercayai kepada taqdir Allah SWT.
Keempat, jaga jarak. Hal ini menjadi trending topik sejak pemerintah mewajibkan masyarakat untuk menerapkan Social dan Pysical Distancing. Bahkan pemerintah mengeluarkan regulasi berskala nasional agar masyarakat melaksanakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (PSBB).
Tentunya kita berharap dengan “Jaga Anda, Jaga Iman, Jaga Imun, dan Jaga Jarak” kian menguatkan ikhtiar dalam menjemput taqdir muallaq. Klimaksnya, penyebaran Virus Corona dapat dihentikan dan hilang dari bumi Indonesia bahkan dunia. Tatanan kehidupan antar negara berlangsung normal kembali. Ibadah Umroh dan Haji dapat disajikan kembali. Salat Jumat dan Shalat berjamaah lima waktu bisa berlangsung khidmat. Tablig akbar dan kegiatan keagamaan berjalan kembali. Pengembangan pendidikan dan kegiatan sosial stabil kembali. Aamiin.
Kalenderwak, 06 April 2020 /12 Sya’ban 1441 H. Pkl. 08.20 Wib.
Stay at Home
Harapannya Baiti Jannati.
#tantangan ke-11
#tantangan 14 hari KPPBR.
Selamat Berliterasi Spiritual Tiada Henti.
9 thoughts on “Menjemput Takdir Muallaq : Sebuah Kajian Kritis Terhadap Ikhtiar Manusia”