Pesona Pandangan Pertama

 

By : Iim Kamilah

Batik hijau tua bercorak yang serasi dengan warna dasar nampak telah dikenakan.  Bis rombongan melaju kencang seakan berlomba dengan semilir angin pagi.  Menghembuskan para jamaah merapat dari Islamic Centre menuju bandara Soekarno Hatta. Perjamuan ala Garuda dengan menu lengkap mulai tradisional hingga western sudah siap terhidang.

Ditemani secawan aroma coffee harum terjalin keakraban antar jamaah. Karpet beludru tebal yang lembut membelai kenyamanan. Ruang sejuk full AC menambah keasyikan untuk saling mengenal. Begitulah mutawwif (pembimbing) menganjurkan. Rombongan harus kompak dan saling menjaga keselamatan serta disiplin. Itulah kunci kesuksesan menjalani  planning sembilan hari bersama dalam perjalanan ibadah ini.

Nguing-nguing pesawat Garuda raksasa yang perkasa mulai memanggil. Pramugari-pramugari jelita bergerak gesit hingga badan pesawat siap menuju angkasa. Menjelajah awan putih berarak dalam naungan langit biru menyejukkan kalbu. Doa dan dzikir tak pernah lepas selama 10 jam penerbangan hingga akhirnya tinggal landas di King Abdul Azis. Hati terkesiap seketika. Menginjak Jeddah hanya dalam sekejap.

Mata sayu yang tinggal lima watt kian meredup. Malam itu menikmati Jeddah untuk sekedar transit. Mengucapkan doa  untuk menundukkan kota asing. Khususnya doa supaya tidak terjadi hal-hal aneh selama di tanah suci. Kerlap kerlip bintang di langit Jeddah segera mengantarkan ke peraduan juwita malam.

Fajar mulai menampakkan kuasanya. Membuka langit dari kegelapan.  Rombongan bertolak menyusuri peta dengan titik target kota Medinah. Kota Nabi. Payung mesjid Nabawi telah merekah. Cantik sekali. Turun dari hotel, tiba di pintu mesjid Nabawi. Polisi wanita bercadar hitam menatap tajam bagai burung elang yang hendak menerkam. Meraba-raba mulai dari ujung kepala hingga ke kaki. Lega hati ini tatkala berhasil lolos masuk.

Berbagai bangsa dengan aneka busana peribadahan khas negaranya masing-masing telah memenuhi ruangan mesjid. Haru dan nikmat menyelusup hingga menerebos ke urat nadi saat mulai bacaan dari rakaat hingga rakaat berikutnya, terus dan terus. Tak ada lelah dan jenuh ibadah di episentrum magnit doa ini. Entah dari mana kekuatan itu datang. Sejuuuuuuk. Bejana-bejana zam-zam tertata dengan rapi sepanjang barisan.

Dinginnya zam-zam mulai menelusuri kerongkongan yang kehausan. Bayangan sejarah bak hikayat  seputar Nabawi penuh menggelayuti diri. Dulu rumah Siti Fatimah puteri nabi ada di sini. Demikian juga Bilal dengan gelora adzannya yang fenomenal bergaung di tempat ini yang dulu merupakan rumah Rasulullah SAW. Apalagi yang dirasa bahagia selain bisa berdekatan dengan Rasulullah SAW. Saat ini kedekatan dengan Rasulullah SAW demikian nyata.  Jasad suci Beliau sedang beristirahat dalam keabadian di sini dalam makamnya yang dijaga ketat.

Mutawwif perempuan telah menjemput menuju Raudhah jam 02.00. Di Raudhah ada sistem tutup buka. Hanya jam ini pintu buka untuk muslimah. Suhu saat ini terasa hangat. Sejenak muthawwif memberikan trik-trik jitu supaya bisa menyusup di antara ribuan muslimah yang berbadan tinggi besar.  Training singkat untuk bisa sukses memasuki Raudhah yang harus kuat membelah lautan jamaah dan adab selama di Raudhah -tempat suci yang berjarak hanya setengah meter dari makam Rasulullah di dalam mesjid Nabawi- telah disimak dengan telinga penuh ketajaman.

Yessss!!!!! Dengan karunia Allah, sukses berhasil berada di tengah gelombang samudera Raudhah. Shalat beberapa rakaat di Raudhah. Air mata tak henti berurai ketika badan hampir menyentuh batas makam Rasulullah SAW. Rindu kami padamu, ya Rasul. Beberapa hari berlalu tanpa puas-puasnya mencium aroma nabi Agung di Nabawi.

Muthawwif bercerita kisah-kisah kenabian sepanjang jalan Medinah-Mekkah. Tanah bebatuan dan gersang  berwarna coklat terhampar bagai bukit tiada bertepi. Mampir di kebun kurma. Lautan kurma dengan jenis yang super lengkap. Sejurus kemudian, hamparan laut merah membentang begitu luasnya. Pancuran nan indah menyemprotkan air ke berbagai penjuru.

Mesjid Apung kokoh bertahan di atas lautan. Memberi makan burung-burung merpati sambil istirahat di kawasan ini merupakan hiburan tersendiri. Mereka senang mengajak bercanda. Ketika raut alam mulai merona, bus melesat ke arah medan magnit. Aih!!!! Bus bisa berjalan sendiri tanpa harus dikendalikan. Sementara itu di sekililingnya panorama gersang menghinggapi. Sang surya tepat di atas kepala. Terik tiada berhingga. Mencoba berteduh tapi hanya ada satu dua pohon tumbuh.  Selebihnya hanya ada bukit-bukit raksasa penuh batu. Ajaib, di kehausan luar biasa ini ada penjual ice cream. Tak ayal lagi rombongan mengepungnya hingga hampir ludes.

Bus terus menggerus jalan melewati pemakaman Baqi di tengah kota. Pemakaman para syuhada yang mengingatkan pada Bahesty Makbarah. Melaju ke sebelah kanan, tampak jalanan kosong bersejara. Ceritanya di situ menjadi tempat dilaksanakannya eksekusi hukum pancung terhadap seorang yang ternyata sebenarnya tidak berdosa. Maju sedikit tampak menjulang Gunung Uhud. Mengingatkan pada cerita Hudzur tentang para sahabat di perang Uhud. Istirahat sebentar, menikmati nikmatnya susu unta. Unta-unta berkeliaran dengan bebasnya di sekitar kami.

Cukup lama  bukit-bukit tandus terlewati hingga sampailah di Jabal Rahmah. Tempat pertemuan Adam dengan Siti Hawan dipertemukan kembali setelah terpisah ratusan tahun. Bagi yang percaya, di sini diistilahkan gunung jodoh. Berdiri kokoh seakan menantang untuk didaki. Jabal Rahmah pun setapak demi setapak dinaiki hingga mencapai puncak di monumen Adam Hawa. Penuh kehati-hatian saat turun kembali. Agak licin, sempit, dan berbatu runcing.

Roda bus tanpa lelahnya terus berputar menghantar jamaah hingga  tak terasa sudah menepi ke tujuan utama. Panas terik namun teduh dirasakan saat ratusan merpati datang menyambut. Bulu-bulu halus dan sayapnya terbang kian kemari sambil mendekati. Pelataran marmer putih yang luas melebihi lapangan bola di senayan mulai terlihat.

Banyak pintu yang dapat dimasuki. Salah satu kunci selamat di sini adalah hafalkan melalui pintu mana tempat awal masuk maka dapat kembali dengan mudah. Namun bila lupa, tak perlu gugup hingga hilang kendali diri. Mencari sampai ujung pun, sulit ditemukan. Hanya bingung yang akan ada. Jadi, tenangkan kalbu. Shalatlah dua rakaat. Mintalah petunjuk padaNya. Insya Allah, Tuhan akan segera datang memberi pertolongan.

Tanpa kesulitan berarti, pintu masuk terlewati. Muthawwif meminta menengok ke sebelah kanan. Badan langsung bergetar. Hati luruh tak berdaya. Lemas dalam kuasa Ilahi. Terpaku dalam pesona pandangan pertama pada bangunan hitam berkiswah emas yang selama ini hanya ada di gambar dinding atau di televisi. Tetes-tetes air mata sulit terbendung ketika bersimpuh di hadapan Kabah dalam jarak tanpa batas lagi. Shalat menghadap kiblat berupa Kabah asli yang menjulang di depan mata. Apakah benar ini suatu kenyataan?
Ya….ini benar….ini nyata. Tangis bahagia pun pecah membuncah. Tak ada lagi keinginan meraih apa pun selain ingin berada di sini selamanya. Tenang damai dalam pelukan Allah SWT.

Dinding Kabah diraba dengan kesadaran belum seutuhnya. Serasa masih berada di dalam mimpi bisa menyentuh Kabah dan shalat di Hijr Ismail. Berbusana putih thawwaf melambai tangan dan mengelilingi Kabah. Pengelilingan kaum muslimin yang tiada pernah terhenti sepanjang massa. Tak lupa, menengok sekilas jejak kaki Nabi Ibrahim di seputaran Kabah. Terlintas bagaimana perjuangan Sang Nabi yang telah berusaha mengangkat batu untuk membangun Kabah di masa lalu.

Hajar Aswad melambai ingin digapai. Menerobos dengan perjuangan yang berhingga hingga wajah dapat pula merasakan terbenam di lubang Hajar Aswad. Hiruk pikuk beribu orang di sini, tiba-tiba hilang. Sunyi senyap tanpa suara tatkala wajah mencium Hajar Aswad. Tiba-tiba segerembolan pasukan loreng berdatangan. Mereka berbicara keras tanpa bisa dimengerti. Membentuk pagar betis.  Barisan zam-zam di area Kabah menjadi tempat menepinya orang-orang seketika itu. Pintu keemasan Kabah pun terbuka. Tangga diturunkan. Barisan kerajaan Saudi Arabia melewati dan masuk ke dalam Kabah.

Seperti halnya di Nabawi. Tak ada istilah lelah shalat di sini. Semua bagai kehausan untuk ingin berbadah tanpa henti. Area sekeliling Kabah ini tak pernah surut dengan manusia. Kegiatan thawaf tidak pernah stop. Terang benderang non stop tiada gelapnya. Sepanjang malam pun bagai siang bolong. Aktivitas ibadah terus berjalan.

Langkah-langkah kaki semakin terusik untuk segera napak tilas Siti Hajar tatkala mencari air untuk bayi Ismail. Sa’i bolak-balik antara bukit Safa dan bukit Marwa terasa indah. Tak ada keringat bercucuran. Pancuran kecil zam-zam yang berderet di sepanjang kedua bukit itu dan AC yang sejuk membuat langkah semakin bisa cepat menggapai bukit. Bukit terjal dulu telah disulap menjadi jalanan berupa ruang  besar panjang, terang, dan lux . Beristirahat di bukit setelah naik turun sambil menikmati keindahan bukit bebatuan yang bagaikan taman indah. Sa’i pun selesai sudah. Saling menggunting rambut (tahallul) tanda ibadah ini selesai pun dilakukan. Lega rasanya hati ini.

Ketagihan thawaf membuat thawaf terus dilakukan. Mumpung di sini. Tiada rasa puas menyapa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail hingga tiba waktunya thawaf wadha. Thawaf permisi semoga tahun depan dapat kembali lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *