Oleh : Ramaditya Adikara
Jumat 1 Nopember 2019 saya diundang sebagai salah satu narasumber mewakili penyandang disabilitas dalam talkshow bertajuk “Menggali, Mengembangkan, dan Memberdayakan Potensi Penyandang Disabilitas.”
Acara yang digelar di Hotel Grand Mahakam Jakarta itu dihadiri narasumber yang berkecimpung dalam dunia pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK).
Pembicara pertama, Ibu Adi Nugroho, menuturkan bahwa untuk menangani ABK kita harus menyelaraskan diri, baik orangtua maupun terapis atau pendamping.
“Sebagai pendidik, kita tidak boleh merasa paling ahli atau tahu. Posisi kita adalah partner bagi orangtua, maka perlu komunikasi agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik,” jelas beliau.
Pak Sulistianto — narasumber kedua — juga mengiyakan pendapat tersebut. Pria yang berprofesi sebagai trainer itu menegaskan bahwa sebagai guru, kita harus mampu mengajar, tapi juga siap belajar.
Lalu ada Ibu Siska, orangtua yang dikaruniai buah hati penyandang autistik.
“Saya sudah pernah berada dalam tahap depresi, bahkan menyangkal atas apa yang dialami putri saya Audrey. Namun, setelah tujuh belas tahun ini, saya bisa menerima, karena yakin ciptaan Tuhan tak pernah salah,” tuturnya.
Nah, giliran narasumber perwakilan penyandang disabilitas yang bicara.
Dalam kesempatan itu, saya menyampaikan pengalaman hidup sebagai manusia inklusif. “Perlakuan sama, pendidikan sama, dan berkompetisi pun sama. Jika ada hal yang membutuhkan perhatian ekstra, anggaplah itu sebagai lahan mencari pahala,” tutup saya.
Berikutnya, Mbak Putri penyandang tunarungu yang memaparkan kisahnya. Dibantu Mas Ruly sang penterjemah bahasa isyarat, pemilik kafe KOPTUL (kopi tuli) ini menceritakan bagaimana dirinya merintis wahana kuliner tersebut.
Ada sebuah kalimat yang cukup menyentil hati saya.
“Karena kami penyandang disabilitas, orang lain sering menyebut diri mereka orang normal. Jadi, apakah kami tidak normal? Tidak, maka sebut saja orang yang tidak menyandang disabilitas sebagai non-disabilitas.”
Memang, jika diperhatikan sepintas, ungkapan di atas hanya sekadar permainan kata belaka. Namun, sesungguhnya terkandung makna yang dalam.
“Tuhan tidak pernah menciptakan makhluknya dengan salah.” Normal atau tidak, itu hanya ukuran yang dibuat manusia atas hambatan atau asumsi kekurangan yang tampak. Namun, manusia sudah punya kadarnya masing-masing, bukan?
Jadi, manusia tak ada yang tidak normal, tapi unik! Ya, termasuk penyandang disabilitas.