Tebus Kesalahan dengan Kebajikan

Oleh Nining Suryaningsih

“Bu, aku gak bisa menulis,” seru Ihsan dengan wajah memelas.

“Kalau gak ada pulpennya ya pinjam teman dong. Cepat. Ini mau ulangan.”

Dia meringis dan tampak hampir menangis. Setelah kudekati dia malah menunduk.

“Kamu kenapa, sakit?” tanyaku dibuat lembut. Kemarahan yang tadi akan kusemburkan dengan alasan anak itu pasti malas karena gak bawa alat tulis sirma seketika.

“Tangan saya sakit …, gak bisa digerakkan. Hiks …. ” suaranya parau menahan isakan.

“Tangannya kenapa?” tanyaku penasaran sambil menarik lengan kanan yang dekat bahunya.

“Aw. Jangan ditarik, Bu. Sakit …,” serunya sambil menjauhkan basan dariku.

“Serius? Maaf, kirain bukan tangan yang itu. Emang tangannya kenapa?”

“Tadi ditarik Hendra.”

“Ditarik Hendra kok bisa sampe gitu?” mataku melihat sekeliling bermaksud mencari keberadaan Hendra. Namun aku buru-buru kembali menatap Ihsan karena suasana kelas hening. Semua siswa mengerjakan soal ulangan yang kuberikan.

“Kok bisa dia narik tangan kamu sampe jadi gitu? Berantem?” tanyaku dengan suara pelan. Perasaan galau menyelimutiku karena Ihsan masih meringis, tampak menahan sakit.

“Eng… Nggak …, Bu. Tadi main-main,” jawab Ihsan terbata-bata. Aku juga hampir tak percaya kalau Hendra berniat mencelakai Ihsan. Hendra yang kukenal bukan anak pecicilan. Malah kuperhatikan dia cenderung serius dan jarang terlihat bercanda yang tak perlu.

Akhirnya aku memutuskan menghubungi guru PJOK lewat WA. Aku lalu meminta Ihsan menemui guru PJOK utk meminta treatment yang pas agar tangan kanannya bisa sembuh. Awalnya Ihsan menolak karena khawatir usahanya pergi ke ruang guru sia-sia, karena guru PJOK yang kumaksud tidak ada di sana saat istirahat kedua. Apalagi dia harus mengerjakan ulangan yang kuberikan.
Setelah kubujuk beberapa kali akhirnya Ihsan mau pergi. Awalnya dia hanya berdiri memandangi teman-temannya. Mungkin untuk meminta diantar. Aku lalu memberi isyarat pada Anwar yang duduk tak jauh darinya untuk menemani Ihsan keluar. Anwar tidak menolak.

Beberapa belas menit kemudian siswa yang sudah selesai mengerjakan ulangan meninggalkan kelas, menunggu di luar, setelah menyerahkan kertas jawaban.

Setelah sekian belas menit Ihsan masuk ke kelas. Di belakangnya Hendra mengikuti. Wajah Ihsan sekarang terlihat lebih tenang, tak gusar. Tak ada lagi genangan d kelopak matanya. Yang terlihat gusar malah Hendra. Dengan muka agak merah dan mata sedikit berkaca-kaca dia mendampingi Sandi yang langsung duduk dan mengerjakan ulangan sesaat setelah kudekati mejanya. Aku tak bertanya. Aku hanya memperhatikan. Di luar dugaan Hendra tampak membantu menjelaskan pada Ihsan apa yang harus dilakukan dengan kertas yang berada di hadapan. Dia menerangkan empat bagian ulangan yang tadi kusampaikan saat Ihsan pergi menemui guru PJOK. Penasaran kudekati mereka.

“Tangannya sudah sembuh?” tanyaku sambil menatap Ihsan.

“Sudah, Bu. Sudah bisa dipake nulis sekarang,” jawabnya tenang.

“Syukurlah,” ucapku.

“Sama Pak itu?” tanyaku lagi penasaran.

“Bukan Bu. Sama Pak Kepala Sekolah,” jawab Ihsan sumringah.

Ah aku baru tersadar Kepala Sekolahku kan mantan guru PJOK.

“Paham harus gimana ngerjain soal-soal itu?” tanyaku lagi.

“Iya, Bu. Ini dijelasin Hendra,” jawab Ihsan menunjuk Hendra di sampingnya.

Yang ditunjuk malah menunduk. Sedetik kemudian dia mengusap matanya dengan punggung tangan.

“Kamu kenapa?” tanyaku pada Hendra. Dia hanya menggeleng. Sepertiny rasa bersalah dia pada Ihsan diganti dengan mendampingi Ihsan mengerjakan soal hingga tuntas, tapi tak berarti memberi tahu jawabannya. Kulihat Hendra sepertinya menawarkan diri untuk membantu Ihsan menulis jawaban Essay.

Ya Allah, sebagai manusia yang bisa khilaf dan alfa, tindakan Hendra mengingatkanku akan kebesaran ampunan Tuhan.

Andai Tuhan tak pernah beri kita ampunan saat kita berbuat kemaksiyatan mungkin tidak akan ada Hendra Hendra yang lalu berbuat kebajikan untuk menebus kesalahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *